Sholawatan sebagai Budaya Tanding


malam minggu ini banyak tawaran untuk hiburan. konser musik Dwiki Darmawan dkk di GSP UGM, Jogja Java Carnival (JJC) di Malioboro, Pameran Komputer di JEC dan Sholawatan bareng Habib Syech di UNY. Semua menarik, semua ingin ku datangi, tapi aku belum punya ilmu membelah diri. Kalau milih nonton konser, tiketnya paling murah 40 ribu, pameran komputer juga mbayar tiket masuk setidaknya 3 ribu tanpa parkir (sepeda gitu loh !).

Tinggal 2 pilihan, Jogja Java Carnival apa sholawatan? Malioboro terlalu jauh kalau naik sepeda, lagipula harus nyari tiang listrik atau tempat yang aman buat ‘naleni’ silva, sepeda silverku. akhirnya kuputuskan untuk pergi sholawatan bersama jamaah Ahbabul Mushtofa pimpinan Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf dari Solo. sudah lama juga telingaku tidak mendengarkan sholawat apalagi membaca. jujur, sholawat kadang membuatku kangen. benar-benar kangen pada sosok yang belum pernah kulihat wajahnya, Nabi Muhammad SAW.

Di antara bait-bait berbahasa Arab, ada juga bait pesan yang diucapkan dalam bahasa jawa. pesan-pesan moral disampaikan lewat syair itu sambil diiringi tetabuhan terbang dan gendang. salah satu pesan yang menarik adalah ajakan untuk “Mengurangi Menonton TV”. Mungkin saja dengan pertimbangan, tentu saja dari kacamata Habib Syech, bahwa TV mengandung lebih banyak pengaruh negatif daripada positif.

ide skripsi nih ! pikirku. langsung saja otakku mencari-cari di antara tumpukan memori tentang teori komunikasi yang sudah terlalu lama mengendap dan mengerak di dasar otak. konsep yang pertama muncul adalah budaya populer. terus terang saat ini saya belum bisa memberikan rujukan valid tentang konsep tersebut. Fyi, jamaah Ahbabul Musthofa ini cukup tenar di Jawa Tengah (khususnya kawasan Jepara, Kudus, Purwodadi, Sragen, Solo) dan DIY. Ia memiliki ratusan pengikut dan ribuan simpatisan. mereka punya jadwal rutin untuk mujahadah dan pembacaan sholawat simtudduror tiap selapanan (38 hari) di masing-masing kota. Bahkan di kota-kota tertentu bisa lebih dari 1 pertemuan (majlis).

Simpatisan yang hadir berasal dari golongan yg beragam. Dari orang tua, pemuda, remaja hingga balita yang diajak serta oleh ibunya. Dari yang berstatus kyai, santri, mahasiswa/i, hingga tukang patri. Mengamati perilaku mereka selama acara berlangsung, tak jauh beda dengan pertunjukan konser musik atau seni lainnya. terkadang jamaah menirukan ucapan Habib, melanjutkan bait selanjutnya bahkan tak sedikit yang melambai-lambaikan tangan ke atas persis nonton konser musik. bedanya adalah sebagian besar jamaah berbaju putih, kopiah putih dan duduk lesehan.

Kembali pada konsep budaya popular. secara umum, dan masih sangat permukaan, aku menangkap sinyal bahwa ritual ini telah mengalami apa yg disebut Mas Wisnu dalam salah note Ekonomi Politik Media-nya sebagai komodifikasi, transformasi nilai guna menjadi nilai ekonomi. dibuktikan dengan penjualan kaset, CD, buku sholawat Simtudduror bahkan poster Sang Habib sendiri. memang untuk tahu berapa nilai ekonominya, butuh penelitian yang lebih jauh.

Hal lain yang berkaitan dengan budaya populer adalah makna dari kehadirannya. lagi-lagi saya minta maaf for lacking of theory, dalam hal ini jamaah Ahbabul Musthofa memainkan peran sebagai budaya tanding (alter culture) terhadap penetrasi berjamaah dari media mainstream. ini jelas tersurat dari isi pesannya yang lugas untuk mengurangi aktivitas menonton TV dan menggantinya dengan ikut ngaji. Selain itu masih ada lagi pesan-pesan moral menanggapi budaya masa kini seperti pergaulan muda-mudi dan sikap ekstremis yang menggejala.

namun yang perlu dikritisi juga adalah dari mana akar budaya sholawatan itu sendiri. jika media mainstream seringkali dituduh sebagai pembawa pengaruh buruk dari budaya Barat (asing), bukankah tradisi sholawatan juga bukan asli dari budaya kita Indonesia melainkan dari budaya Arab yang juga asing. Bukankah jamaah habaib malah memunculkan penyanjungan, pemuliaan kepada orang yang berasal dari Arab meskipun dengan dalih keturunan Nabi. kemudian apa bedanya Arabisasi dengan Westernisasi ? Waallahua’lam bisshawab

pertanyaanku cuma satu sebenarnya. bisakah ini kuangkat sebagai skripsi? *ketawa miriss*

kritik dan saran yang membangun selalu saya tunggu…

PS: lagi-lagi ide baru lagi… bingung je!

Penulis: maulinniam

Burung kecil terbang dalam kawanan, burung besar terbang sendirian. Aku hanya burung kecil yang belajar terbang sendirian.

4 tanggapan untuk “Sholawatan sebagai Budaya Tanding”

  1. alaikumsalam mas Ferry

    salam kenal juga. semalam juga ada jamaah ahbabul musthofa di kantor Telkom kotabaru.
    besok tanggal 19 Nop insyaallah di kampus AMIKOM seturan.

    shalluu ‘alannabiy muhammad.

  2. aslkum….

    Salam kenal kmi hturkn pd klian smua, kmi adlh pemuda bgsa yg sgt trtrik akn sholwat2 yg srg dlntunkn oleh habib syech, bhkn kmi jg membntk komunitas “NU Life Guard” yg brarti mnjaga khdpan.. agr qt bs sdr, bhw hdp qt ni hy sX, mka hrz qt jga dgn baik… & smga bg qt smua yg slalu sng mlantunkn sholawat, bs mndptkn syafa’at klak di yaumul khisab (amin),,,,

    wassalam……

  3. lebih baik minta dosen pembimbing yang seperti habib syeh…latau kalau gak yaw nginget nginget pelajaran antropologi pas SMA aja mas,,,,,,kan ada tuh westernisasi….hoo,,,ho

Tinggalkan Balasan ke farida Batalkan balasan