Mengejar Matahari: analisis psikologi

Dalam tugas menganalisis kepribadian salah satu tokoh dalam film Mengejar Matahari ini saya memilih tokoh Ardi (Wingki Wiryawan). Pemilihan ini saya lakukan tentunya dengan beberapa pertimbangan antara lain, Ardi adalah tokoh utama, dalam arti alur utama cerita dalam film ini adalah cerita Ardi tentang dirinya, sahabat dan lingkungannya. Kedua, kepribadian tokoh Ardi lebih banyak dieksplor daripada ketiga sahabatnya. Lagi-lagi karena film ini sebenarnya cerita si Ardi. Alasan ketiga, yang terakhir ini lebih bersifat personal, ada kemiripan perkembangan mental antara saya dengan tokoh Ardi. Meski dengan setting cerita, keluarga dan kondisi sosial yang berbeda.

Ada tiga fase penting yang menurut saya mempengaruhi perubahan kepribadian Ardi. Pertama pengungkapan diri ideal yang tersirat dalam adegan ketika Ardi menyatakan bahwa dia hanya ingin hidup lebih bahagia daripada saat itu. Sebelumnya, Ardi mengakui bahwa sejak kecil ia tertekan oleh disiplin ketat ayahnya, salah sedikit saja tidak boleh dan hukuman push-up tiap kali ia dianggap salah oleh ayahnya. Ardi menganggap apa yang dilakukan ayah terhadap dirinya sebagai bentuk kekecewaan seorang pensiunan polisi yang dilampiaskan pada anaknya. Semua itu dirasakan Ardi sebagai kehidupan yang tidak bahagia sehingga timbul keinginan untuk merasakan hidup yang lebih bahagia.

Kedua, fase titik balik (turning point). Anak yang sejak kecil selalu dididik untuk takut pada sosok ayah, suatu saat akan muncul bentuk perlawanan. Ardi yang sejak kecil diperlakukan dengan keras tanpa pernah diberi kesempatan untuk membela diri, tiba-tiba berani membantah omongan ayahnya. Tumbuh keberanian Ardi, karena tidak tahan terus menerus disalahkan, apalagi harga dirinya dilecehkan. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya diinginkan ayah atas dirinya. Ayahnya pun menjawab, ”kamu harus menjadi sesuatu ! Apa yang bisa membuat bapak ibumu bangga.” sejak saat itu Ardi mulai mencari dan menetapkan peran yang akan dia ambil. Saat menangis sendirian di kamar itulah sebenarnya terjadi proses peneguhan tentang konsep dirinya.

Proses peneguhan konsep diri ini juga terjadi ketika ia menonton kembali rekaman tentang persahabatan mereka berempat. Terbukti keesokan paginya, Ardi dn Nino bergegas hendak menghajar Obet, pembunuh Apin, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Rara. Namun Ardi telah memutuskan untuk memilih ikatan persahabatan daripada janjinya untuk tidak lagi berkelahi.

Fase terakhir yaitu ketika Ardi pulang ke rumah setelah menyelesaikan pendidikan di Akademi Polisi. Ia pulang disambut ibu dan tentunya ayahnya dengan bangga. Ini menunjukkan bahwa telah terbentuk konsep diri yang ia inginkan untuk memperoleh kebahagiaan dan membuat kedua orang tuanya bangga, yaitu dengan menjadi polisi.

Filsafat itu Nikmat


Judul : Filsafat yang Menghibur, Penjelajahan memasuki ide-ide besar

Penulis : Hector Hawton

Judul Asli : Philosophy for Pleasure, An Adventure in Ideas

Penerjemah : Supriyanto Abdullah

Penerbit : Ikon Teralitera

Tebal : ix + 267 halaman

Pertama kali membaca judulnya, mungkin kita akan mengernyitkan dahi sambil berkata dalam hati, ”Emang ada?”. Filsafat seringkali identik dengan kegiatan berpikir. memikirkan segalanya, tentang diri, manusia, alam semesta dan apa saja yang ada, bahkan kata ada itu sendiri. Filsafat bagi sebagian orang, yang disebabkan ketidakmampuannya, dianggap sebagai sesuatu yang membingungkan. Celakanya, karena sedemikian bingungnya, muncul anggapan bahwa semakin membingungkan kalimat seseorang semakin filosofislah orang itu.

Persepsi yang salah arah itu terjadi karena kita, baik mahasiswa filsafat atau bukan, menempatkan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang dipelajari semata. Mahasiswa sibuk menghafal nama para filsuf dan pemikirannya lengkap dengan tahun kelahirannya, tetapi lupa memahami alasan mengapa mereka berfilsafat. kita tidak tahu apakah Phytagoras sempat memikirkan manfaat dari rumus-rumus matematika bagi generasi sesudahnya, tetapi yang jelas ia menikmati proses dan menemukan hiburan dalam operasi angka-angka. Pencarian kenikmatan dalam filsafat itulah yang mungkin mendasari Hawton menulis buku ini. Yaitu dengan mendudukkan filsafat bukan hanya sebagai bidang ilmu untuk dikaji tetapi lebih sebagai cara untuk mengkaji semua bidang ilmu.

Gagasan dalam buku ini terbagi dalam 13 bab yang disusun berdasarkan tema untuk memudahkan pembaca memahami perkembangan dan pergulatan pemikiran dalam filsafat. Diawali dengan pertanyaan tentang apa sebenarnya filsafat. Bermula dari usaha manusia memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang sesuatu di luar dirinya (alam semesta). Dalam proses pencarian jawaban itu muncul apa yang masalah-masalah filsafat. Tema menarik lainnya yaitu penggunaan akal budi dan posisinya dalam ilmupengetahuan, hubungan erat filsafat dan metafisika (yang pernah dijauhi dan kini mulai diperhitungkan lagi), tentang perubahan logika dalam memahami bagaimana alam semesta bekerja serta perdebatan pemikiran yang mengiringinya. Secara sekilas, kemajuan filsafat modern terlihat sangat destruktif terhadap karya filsuf terdahulu. Perbincangan para filsuf modern kini cenderung selalu mengarah pada linguistik untuk alasan tertentu. Sehingga kita seringkali bertanya dalam hati tentang benar atau salahnya suatu pernyataan dalam proposisi tertentu (Hawton, 2203:vi).

Dalam bab terakhir penulis hendak menegaskan kembali bahwa filsafat bukanlah sesuatu yang final, bukan pula sebagai ilmu pengetahuan yang menyediakan jawaban atas semua persoalan mendasar tentang realitas. Didalamnya terjadi perdebatan panjang dan akan terus berlangsung. Filsafat adalah sebuah proses pemikiran tak berkesudahan tentang ke’ada’an karena sejatinya ke’ada’an yang dihadapi juga terus berubah.

Tak seperti buku filsafat lainnya,yang identik dengan istilah rumit, njelimet, membuat dahi semakin berkerut, buku ini justru sengaja disusun untuk pembaca yang memiliki pemahaman terbatas atau tidak sama sekali dalam dunia filsafat. Penjelasan di dalamnya menggunakan kalimat-kalimat sederhana dan mudah dipahami, jauh dari kesan penuh teori tingkat tinggi. Lagi pula setelah bab terakhir, penulis melengkapi buku ini dengan glosarium istilah yang memudahkan pembaca memahami istilah-istilah khas filsafat. Selain itu penggunaan kutipan berupa kalimat langsung dari filsuf-filsuf besar di antara paragraf argumentatif menjadikan tulisan ini terasa semakin hidup. Pembaca seolah-olah mendengar langsung para filsuf mempertahankan pemikirannya dan menyangkal pemikiran filsuf lain.

Tujuan akhir dari sebuah hiburan adalah senyuman kepuasan. Bila mengingat judul buku ini, maka ketika pembaca menyelesaikan bab terakhir saya yakin akan terbit senyum, minimal dalam hati. Tersenyum atas pencerahan yang diberikan Budha ketika menjawab keluhan sejumlah mahasiswa yang kebingungan di tengah kepungan beragam doktrin filsafat. Tetapi bukan berarti lantas membuat kita, mahasiswa, beroleh ketenangan. Filsafat bukanlah obat penenang, ia justru pengganggu kedamaian intelektual. Sekarang tinggal bagaimana sikap kita. Merasa cukup terhibur dan puas atau merasakan adanya gejolak intelektualitas ?