Cari dalam Diam

Jika kau hendak mencari kebenaran, carilah dalam diam.

emilysquotes-com-wisdom-sad-speaker-of-truth-truth-consequences-proverb-african-proverb

Jika kau hendak mencari kebenaran
carilah dalam diam.

Jika pun kau merasa menemukan kebenaran
simpanlah dalam-dalam.

Jangan sekali-kali kau kabarkan,
kecuali jika dan hanya kepada
mereka yang siap mendengarkan

Karena kutukan bagi pengabar kebenaran adalah
KEMATIAN atau KETERASINGAN
Hidup tanpa Teman.

 

Kentungan, 02 Mei 2016

Si/Apa sih Shohibu Baiti ini?

T: assalam bang mu’alimin (salah baca nama, sudah biasa)
salam kenal y bang,..
pengen nanya kalo shohibu baiti sendiri maksudnya apaan ya????

J: alaikumsalam… salam kenal juga.
menurut saya, shohibu baiti itu artinya tuan rumah. saya pernah nulis catatan tentang shohibu baiti kalo berkenan baca.

T: ya tahu bang… tapi yang di maksud tuan rumah itu apakah Allah swt?
saya juga masih bingung apa yang terkandung dalam lyricnya itu,.
saya sudah baca tulisan bung mu’alimin mengenai shohibu baiti ini tapi tetap saja belum mengerti..
saya juga pernah mengikuti pengajian cak nun yang di jogjakarata..
tapi belum tahu apa sih shohibu baiti ini,..
mohon penjelasannya ya bung???

J: terima kasih atas pertanyaannya. ini menurut pendapat saya saja.
yang disebut tuan rumah adalah kesadaran diri kita, kesadaran yang lebih tinggi. kesadaran bahwa kita sadar. ada banyak istilah untuk menyebutnya. Dalam psikologi disebut sebagai the higher self atau super-ego menurut freudian.

Kesadaran yang lebih tinggi ini yang menuntun kita apa yang harus kita ucapkan dan lakukan demi kebaikan diri kita. ia mewujud dalam bentuk intuisi atau suara nurani. karena melalui nurani ini Allah (karena kita sama-sama sepakat bertuhan hanya Allah) membisikkan ilhamNya kepada kita.

Selain itu, tuan rumah atau pemilik dari tubuh kita yang hakiki hanyalah Allah. Sudah seharusnya lah kita menggunakan tiap anggota tubuh ini sesuai dengan kehendak pemilikNya.

Penjelasan yang lebih sekuler begini. tubuh kita ini ibarat rumah yang terdiri dari bagian-bagian seperti pondasi, pintu, jendela, dinding, ventilasi, dan atap. masing-masing bagian memiliki fungsinya sendiri dan masing-masing bagian harus bersatu untuk bisa disebut rumah. diri manusia pun begitu, terdiri dari berbagai bagian yang kompleks. ada sistem pernafasan, sistem pencernaan, sistem reproduksi, sistem syaraf dll. kita punya tangan, kaki, jari jemari, hidung, telinga, mata, hati, dan masih banyak lagi. belum lagi unsur diri yang non fisik. kita dilengkapi dengan hasrat seksual, nafsu makan, need of achievement (dorongan untuk pencapaian), kemauan yang keras, daya tahan atas penderitaan, hingga kemampuan untuk mencintai. semua perangkat itu bisa kita gunakan dan harus kita kendalikan (meminjam bahasanya Cak Nun, “kita khalifahi“).

Tapi yang harus diingat adalah semua itu perangkat, hanya alat, bukan diri kita yang sejati. kita bisa marah, tapi kita bukan kemarahan itu sendiri. kita bisa merasa takut, tapi kita bukan ketakutan itu. kita bisa bersikap kasar, keras, tapi ternyata kita bisa juga bersikap lembut dan sabar. kita bisa horny, tapi kita tak bisa selamanya ereksi. kita bisa menjadi apa saja karena semuanya ada dalam diri kita. kesadaran dalam meng-khalifahi tiap bagian itulah tuan dari rumah tubuh kita. yaitu Aku yang sadar. Aku yang diam, diam mengamati riak gejolak kemanusiaan dalam diri.

T: wah super sekali bung penjelasanya,.. insyaallah lumayan ada pemahaman sedikit,..
terimakasih.

J: sama-sama… saya hanya menyampaikan apa yang ada di kepala. Semoga berguna.

Djogjakarta, di antara garis mati-garis mati yg harus segera kulalui 26 Nov 2011

Terbukanya Rahasia Kunci Surga (Terima Kasih Merapi II)

Suasana bencana terasa benar Kamis malam (4/11) itu. Abu tipis pelan-pelan melapisi apa saja di atas permukaan bumi Mataram. Atap rumah, pohon, rumput, jalan, mobil, semua tampak monokrom. Sirene ambulans meraung-raung sepanjang Jalan Kaliurang. orang-orang mendadak berubah jadi manusia bercadar, menghindari terhirupnya abu vulkanik yang tajam serupa kaca. Itulah deskripsi kehidupan malam hari sejak Merapi mulai erupsi kira-kira seminggu sebelumnya.

Setelah menyantap makan malam di warung makan sejuta umat (warung padang boii), aku dan Gunawan menuju kaliurang kilometer 12. Ku dengar akan ada habib Syech di Pesantren Pandanaran. meski belum tahu lokasi tepatnya, kami nekat ke sana. Ternyata di tengah ancaman Merapi, yang erupsinya anomali, masih banyak jamaah yang bersedia naik ke atas. Tak kurang dari 700 orang berkumpul malam itu di halaman/lapangan kompleks pesantren Pandanaran untuk melantunkan sholawat. Semoga kedatangan mereka berbuah Syafaat Rasul yang melindungi mereka dari fitnah hari kiamat.

Sholawat demi sholawat dilantunkan. Panji-panji dari para ‘syecher mania’ dikibar-kibarkan. para pedagang asongan masih wira-wiri menjajakan alas plastik, peci, air mineral, dan makanan kecil. ku amati tingkah-tingkah lucu orang yang hadir. Ada yang saking bersemangatnya gembor-gembor sholawatan mendahului vokalis resminya, ada juga yang sambil berdiri menggerak-gerakkan tangannya seolah ialah dirigen dalam orkestra rebana di depan ratusan penonton. Ada yang tidak ikut sholawatan, tetapi dengan penuh semangat mengibas-ibaskan bendera selayaknya nonton konser Slank. Tak terasa hujan abu semakin deras. Ku biarkan abu Merapi melapisi jaket tanpa lenganku. “Sejatinya aku adalah debu, mengapa pula risau hanya karena abu”, begitu pikirku.

Terdengar lantunan syair yang sangat familiar dengan telinga. Pujian yang sering dilagukan di mushola sebelum iqomah dikumandangkan.

Miftahul Jannah La Ilaaha Illallah…
yang berarti kunci surga (adalah) tiada tuhan selain Allah.

Sejak kecil, pemahamanku atas kalimat tersebut adalah suatu saat kita berada di depan pintu surga. Lalu kita baca kalimat La ilaaha illallah maka pintu surga akan segera terbuka. pemahaman yang sangat sederhana sebagaimana pikiran anak kecil. Namun malam itu terbersit pemahaman baru yang datang seketika dan tiba-tiba. Mungkin beginilah cara kerja ilham, ide, atau intuisi. muncul seketika dan begitu saja. secepat jentikan jari. klik!

Kira-kira begini apa yang mengalir di kepalaku malam itu, bahwa sebenarnya kita bisa merasakan surga ketika kita masih hidup di dunia. Ini bukan surga dunia seperti selama ini kita pahami, harta, tahta, dan wanita. Bukan pula keindahan alam, bukan surga ala fantasi peradaban gurun berupa hamparan taman penuh warna dengan sungai susu mengalir di bawahnya. Merasakan surga di sini benar-benar dalam arti apa yang dirasakan para penghuni surga.

Pertama saya ingin membicarakan tentang surga. Saya tidak akan mendeskripsikan surga secara visual, karena saya belum pernah ke sana. Tapi saya akan menjelaskan ciri-ciri psikologis, perasaan yang rata-rata dialami para penghuni surga. Ciri penghuni surga yang pertama adalah tak ada ketakutan dan kesedihan tampak di wajah mereka. Ini sesuai dengan ayat 61 surat Al-Baqarah yang artinya “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan berlaku baik, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Sesuai ayat di atas, tersebut bahwa tak peduli orang beragama Islam, Nasrani, atau Yahudi, bahkan golongan Shabiin (dalam keterangan dijelaskan sebagai penganut ajaran nabi-nabi terdahulu atau penyembah dewa atau bintang seperti kaum mesir kuno misalnya), selama mereka mau mempercayai keesaan Tuhan, percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian, dan bertingkah laku baik, niscaya Allah tidak akan menyia-nyiakan apa yang telah mereka lakukan. Allah memberikan balasan pahala. Pahala adalah tiket masuk surga. Dan ciri orang-orang ini adalah mereka tidak khawatir, tidak takut dan tidak pula sedih.

Ciri penghuni surga kedua adalah hati dan pikiran mereka penuh cinta kasih. wajah mereka cerah berseri-seri. Senyum dan tawa riang senantiasa menghiasi wajah mereka (Q.S. Abasa: 38-39). Mereka selalu terlihat sibuk melakukan sesuatu dengan penuh antusias, full of passion. Melakukan sesuatu yang melenakan, melupakan yang lain, karena saking asyiknya. Hati mereka penuh cinta kasih, karenanya tiada ucapan yang keluar dari mulut mereka kecuali kalimat yang menyejukkan. Tiada gerakan tangan dan kaki mereka selain membawa pada kedamaian bagi orang-orang di sekitarnya. Karena jiwa mereka adalah jiwa yang diberkati untuk memberkati (Q.S. Yaa Siin: 55-58; Al-Waqi’ah: 25-26). Ada ciri lain dari penghuni surga yaitu mereka selalu berjiwa muda, penuh semangat, mantab, dan siap menghadapi tantangan apapun yang ada di depan hidung mereka. karena mereka yakin tak ada yang sia-sia atas apa yang mereka kerjakan.

Abu Merapi semakin tebal melapisi jaket. Lenganku bersedekap menahan dingin. Rambut tipis sepanjang tanganku menahan abu Merapi jatuh ke tanah. Bibirku masih mengikuti koor jamaah melantunkan Miftahul jannah laa ilaaha illallah. laa ilaha illallah, muhammadurrasulullah. Sementara pikiranku membayangkan pintu surga perlahan terbuka…

Setelah tahu ciri-ciri perasaan penghuni surga, lalu bagaimana agar kita bisa merasakan apa yang dirasakan para penghuni surga. Apa kuncinya untuk bisa menjadi orang yang tak khawatir, tak takut, tak ragu dalam hidup. Apa rahasianya menjadi pribadi yang selalu bisa tersenyum dalam kondisi apapun, bahkan mampu menertawakan kemalangan nasibnya sendiri. apa rumus hidup bahagia, apa ramuan untuk selalu awet muda?

Kuncinya tersurat dalam lafal Laa ilaaha illallah Muhammadurrasulullah yang juga disebut kalimat tauhid.

Ya tauhid. Kunci membuka kunci surga adalah hidup dengan tauhid. Makna tauhid sangatlah luas seluas alam raya. Karena tauhid meliputi segala bahkan setitik debu yang tersembunyi di sudut semesta sekalipun. Tauhid berasal dari kata ahad (satu/esa) yang berarti mengesakan. Allah adalah satu dalam dzat, dalam sifat, dan perbuatan. Ada ungkapan Jawa untuk menjelaskan tauhid ini, kabeh iku ora ana, sing Ana mung dudu (segalanya itu tidak ada, yang Ada hanyalah bukan). Segala sesuatu (selain Allah) itu sejatinya bersifat fana’ (hilang/tidak ada). Apa yang kita yakini sebagai realitas sebenarnya berasal dari otak kita, persepsi saja. Makna lain dari ucapan Descartes yang terkenal, aku berpikir maka aku ada, adalah bahwa dasar dari eksistensi adalah pikiran. Ketika sesuatu dipikirkan, maka sesuatu itu menjadi ada. Kenapa hantu pocong tidak dikenal oleh masyarakat Eropa atau Amerika? Karena orang mati di sana tidak ada yang dipocong. Dalam pikiran/pengalaman mereka tidak ada belief system tentang sosok hantu yang jalannya dengan cara lompat-lompat atau suster yang jalannya ngesot dan hobi keramas. Begitu pula sebaliknya dengan vampir. Everything is a matter of thought. Indeed, thought is a matter.

Kalimat berikutnya, “yang Ada hanyalah bukan”. Ini artinya bahwa apapun yang kita persepsikan, kita definisikan sebagai Allah yang sejati, itu pasti bukan Allah. karena dzat Yang Sejati adalah dzat yang tak terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, tak terpikirkan oleh akal pikiran manusia. Laitsa kamitslihi syai’a. Tak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya, bahkan semesta. Yang Sejati adalah dzat yang meliputi sekaligus diliputi, memuji sekaligus dipuji, manunggaling kawulo lan gusti.

Hidup dengan tauhid berarti hidup secara utuh, tunggal, menyatu, menyeluruh. Secara makrokosmos, tauhid bermakna bahwa semesta ini adalah satu kesatuan, saling terhubung. Manusia, teknologi, hewan, tanah, air, tumbuhan dan udara adalah dzat yang saling berhubungan dan saling membutuhkan. Bahwa jatuhnya sehelai daun berhubungan dengan perubahan musim. Bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan Amazon berkaitan dengan badai di samudra. Jadi jangan pura-pura terkejut ketika gunung-gunung meletus, tsunami datang bertubi-tubi, bumi makin panas, permukaan laut semakin meninggi karena es di kedua kutub bumi mencair. Coba tengok apa yang sudah dilakukan manusia pada bumi.

Dalam kehidupan sosial, kita membagi-bagi manusia dalam kelompok yang saling terpisah. Kita mengklasifikasikan manusia berdasarkan profesi dan antarprofesi dengan profesi lainnya seolah tak bisa disatukan. Contoh paling mudah, seorang kyai/ulama atau profesi apapun jika sudah masuk ke politik pasti rusak. Bahwa politik itu harus steril dari agama dan agama juga harus suci dari politik. Jika seseorang memiliki kapabilitas di kedua bidang, maka ia harus memilih salah satu saja. ini adalah pemikiran yang terpecah, bukan tauhid.

Secara mikrokosmos, yaitu dunia di dalam diri, kita juga harus hidup secara utuh. Tauhid berarti bahwa diri kita yang sejati adalah satu. Pertama kali kita menjadi manusia seutuhnya adalah ketika kita dilahirkan. Bayi adalah manusia suci, dengan identitas diri yang utuh sebagai manusia. Tapi kemudian keluarga, budaya, sosial, hukum, pendidikan mulai mengajari kita tentang persamaan dan perbedaan. kita mendapatkan identitas kita dari orang di luar diri. kita diajari untuk membedakan manusia berdasarkan warna kulit, suku, agama, status sosialnya dan lain sebagainya. Ini yang mengakibatkan identitas kita terbagi. Tidak hanya dua, mungkin tiga, empat, atau ratusan variabel identitas. Dari persamaan dan perbedaan itu semua, kita mulai membedakan siapa bagian dari kami, kalian, atau mereka. Jika sama berarti kawan, jika beda berarti lawan.

Bahkan kita mulai membedakan antara pikiran dan perasaan yang keduanya ada dalam diri kita sendiri. bahwa pikiran (hasil kerja akal) dan perasaan (hasil kerja hati) adalah dua bagian yang saling berlawanan, mustahil disatukan. Pikiran ini muncul tiada lain karena kita BERPIKIR. Kita latah untuk lebih mempercayai akal (pikiran/logika) yang posisinya tak lebih sebagai bagian dari keseluruhan unsur pembentuk diri kita. Ketidaksinkronan antara pikiran dan perasaan ini yang selalu jadi sumber kegalauan abadi.

Hidup secara tauhid berarti tak ada lagi pemisahan, karena semuanya adalah satu kesatuan. Pikiran dan perasaan adalah bagian dari diri kita tapi kita bukan pikiran itu sendiri atau kita bukan perasaan itu sendiri. kita bisa suka, kita bisa marah. Tapi kita bukan rasa marah itu, kita bukan rasa suka itu. Diri kita yang sejati tak berbentuk. Oleh karena itu kita bisa mewujud dalam berbagai bentuk. Pikiran dan perasaan hanyalah alat bantu kita menjalankan titah kehidupan. Keduanya bertugas memberi pertimbangan dalam membuat keputusan.

Dalam tauhid, segala sesuatu berasal dariNya dan akan kembali padaNya. Segala adalah milik-Nya. Mengapa kita bersedih ketika kehilangan sesuatu? Ketika kita kehilangan harta, pisah dengan pasangan, ditinggal mati orang-orang yang kita sayangi, kita meratapi diri, kenapa harus terjadi. Seolah hidup tidak adil pada kita. Padahal sejatinya, apa sih yang benar-benar milik kita? atas dasar apa sesuatu itu menjadi milik kita? bukankah segala sesuatu itu awalnya juga tidak ada bersama kita.

Kata Letto dalam liriknya, “Rasa kehilangan hanya akan ada jika kau pernah merasa memilikinya.” Ya, kepemilikan itu hanya berdasarkan pada perasaan/merasa. Ya sah-sah saja orang merasa, tapi apakah merasa itu sama dengan yang kondisi sebenarnya? Merasa diangkat sebagai presiden itu tidak sama dengan menjadi presiden sesungguhnya. Bisa merasakan bedanya?

Kalau saja kita mau mengakui dan menjalani hidup sesuai dengan tauhid, maka tak ada yang perlu dirisaukan atas kehilangan. Karena kita tahu, kita yakin bahwa kita tak akan kehilangan apa-apa. Wong kita tidak punya apa apa. Tak ada yang perlu dirisaukan dengan suramnya masa lalu dan buramnya masa depan. Karena kita tahu kita tak akan kemana-mana. Di ujung sana ada Dia yang selalu menjadi tempat kembali kita.

Dan masih banyak lagi aspek kehidupan kita yang ternyata terpecah-pecah. Belum menjadi siji lan nyawiji. Keterpecahan diri, keterpecahan sosial, keterpecahan semesta ini yang menjadikan hidup seolah neraka yang datang sebelum waktunya.

Miftahul jannah laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah muhammadurrasulullah…

Lapisan abu Merapi semakin tebal melapisi lengan dan penutup kepalaku. Aku tak ingin mengibaskannya. Ku biarkan abu itu menyatu dengan kulitku. Mungkin saja ada bagian tubuhku yang dulu berasal dari abu Merapi yang terbawa angin sampai ke Jepara atau Pati. Kemudian abu vulkanik itu menjadi unsur hara yang terserap oleh pohon mangga dan menjadi buah yang dimakan ayah dan ibuku.

Pukul 23.30 sholawatan selesai. Ku lihat wajah-wajah teduh dan ceria terpasang di muka orang-orang yang hadir. Tak ada ketakutan kalau-kalau Merapi meletus lebih hebat lagi dan mengubur mereka dalam pelukan kaki Merapi. Aku sampai di kontrakan bersama gunawan 30 menit berikutnya. Merasa agak lelah kami rebahan di sofa masing-masing bersiap untuk istirah.

Tiba-tiba… Dhuarr!!!

Jendela bergetar, bumi Mataram bergetar.

Itulah puncak letusan Merapi tepat setahun lalu. Sepanjang jalan Kaliurang mendadak gelap, sirine meraung-raung, genting gemeritik kejatuhan kerikil. Kami berdua tertidur pulas seolah sudah sampai di surga.

Kota Sejuta Romansa, 27 Oktober 2011

Lalu Mengapa Kita Sholat

Seorang kawan kemarin mengajukan pertanyaan. Dia mengajukan pertanyaan yang intinya ada hubungannya nggak sih sholat dengan kelakuan seseorang? kenapa ada orang yg rajin sholat tapi tetep aja maksiat, tetep aja korupsi, tetep aja judes, tetep aja sering nyakiti orang. Sementara tidak sedikit orang yang jarang, bahkan tidak pernah, sholat (misal bunda Teresa, atau siapa aja deh) tetapi kelakuannya baik, suka membantu orang, tak membeda-bedakan dalam berteman, dan wajah mereka memancarkan keteduhan.

Marisa bertanya:
Ah Niam…yang menggelitik hatiku adalah kenapa ada sebagian dari kita ntu ada yang shalat dan tidak. Toh yang ndak shalat itu aja terkadang banyak yang baik. Kebaikan tak dilihat dari banyak dan tidaknya shalat. Terus kenapa kita shalat Am?

Saya pun menjawab:

hmm… begitu ya?!
padahal di al-qur’an disebutkan bhw sholat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. tapi kenyataannya masih bnyak orang yg sholat tapi tetep aja ngelakuin maksiat. Kalau begini apanya yang salah? apakah ayat al-qurannya salah? atau orangnya yang melakukan sholat dengan salah sehingga tidak meninggalkan bekas apapun?

well, sholat (dan ritual ibadah lainnya) itu terdiri dari syari’at dan hakikat. syari’at adl syarat, rukun, tata cara yang meliputi gerakan maupun bacaan yang harus dipenuhi. sementara hakikat adl kondisi batin, pikiran, atau makna yang tersirat dari tiap gerakan/bacaan.

syari’at dan hakikat kedua-duanya harus dipenuhi untuk bisa memberikan manfaat dan hasil nyata dalam tindakan keseharian orang yang melakukan ibadah. syariat dan hakikat ibarat kulit dan biji dari suatu benih, atau kulit dan isi telur. kulit tanpa isi tidak akan bisa tumbuh menjadi pohon yang berbuah.

Jika kita banyak melihat orang yg sholat tapi kelakuannya tidak baik, sangat mungkin dia sholatnya hanya ‘rubuh-rubuh gedang’ alias asal jungkir balik. Sholatnya hanya menggugurkan kewajiban, hanya karena kebiasaan, atau mungkin takut pada penilaian orang-orang sekitar.

Lalu kenapa ada orang yg tidak sholat tapi kelakuannya baik? mungkin saja dia sudah melakukan hakikat dari gerakan/bacaan sholat. meskipun mungkin dengan ritual yang lain (misal untuk orang non-muslim). orang-orang seperti ini senantiasa merendahkan hati, mengakui kelemahan diri, tulus dalam bergaul dengan sesama. mereka juga menghargai waktu, bersikap kompak dan serempak, bersungguh-sungguh jika dipercaya untuk memimpin dan rela untuk dipimpin.

Jadi, bolehkah kita sebagai muslim hanya mengamalkan hakikat sholat tanpa melakukan syari’at (mulai dari takbir hingga salam)? tentu saja tidak boleh. selain karena hakikat tidak bisa berkembang tanpa ada bentuk syariat, kita melakukan gerakan sholat di tiap-tiap waktu yang telah ditentukan itu sebagai bentuk kepatuhan hamba kepada penciptanya. Ingat, Iblis dikeluarkan dari surga karena dia menolak bersujud kepada Adam, yang notabene sama-sama makhluk. Iblis dilaknat bukan karena kesombongan Iblis atas Adam, tetapi karena penolakan Iblis (untuk sujud kepada Adam) adalah penolakan atas perintah Sang Penciptanya. Benar bahwa adam hanyalah makhluk, sama seperti Iblis. sujud kepada Adam bukanlah penyembahan/penghormatan kepada makhluk tetapi sebagai bentuk kepasrahan, kepatuhan melaksanakan perintah Tuhan tanpa syarat.

Jika kita masih mengaku sebagai muslim, maka tunaikan sholat, kapanpun, dalam kondisi apapun. Karena sholat adalah syarat bagi seseorang untuk tetap diakui sebagai orang Islam.

Akal vs Hati

Akal : Hai Hati, dua hari ini aku melihatmu murung. Apa yang membuatmu gelisah?

Hati : Aku gelisah karena melihat tuan kita gelisah.

Akal : Kenapa tuanmu gelisah ?

Hati : karena ia mengikuti saranku. ternyata tidak seperti harapan. karena itulah aku gelisah. aku takut tuanku tak lagi mempercayaiku.

Akal : memangnya apa yang kau katakan pada tuan kita?

Hati : aku memintanya untuk mengatakan perasaannya pada seorang Putri.

Akal : Lalu ?

Hati : sang Putri marah besar, mungkin Putri itu tidak pernah menyangka tuan kita, yang sudah dianggap teman sendiri ternyata menyimpan rasa pada sang Putri.

Akal : sudah kukira. tidakkah kau tahu tuan kita bukan orang yang pandai bicara di depan cewek ?!

Hati : iya, tapi itulah kenyataannya.

Akal : Apalagi Putri itu sudah lama jadi temannya. bukankah sudah berkali-kali kuingatkan bahwa ia pernah mengalami hal yang sama bertahun-tahun yang lalu !! dalam banyak kisah yang ku baca, rusaknya jalinan indah persahabatan seringkali disebabkan oleh ikut campurnya “rasa aneh” itu. harusnya tuan kita belajar dari pengalamannya sendiri.

Hati : kamu tidak bisa menyalahkan tuan kita! bukankah

Kita Tak Pernah Tahu KAPAN dan KEPADA SIAPA Kita Jatuh Cinta ! Lanjutkan membaca “Akal vs Hati”