Sesaji untuk Iman Budhi

… ada kesedihan yang tak bisa dicairkan dengan kata-kata.
duka tak bisa disembuhkan dalam sekejap oleh kehadiran tetangga dan sanak kerabat… (IBS)

Terima kasih tak terhingga saya sampaikan kepada Cak Kandar, kang mas sedulur sinarawedi, dan Panitia Penyusunan dan Penerbitan Buku Iman Budhi Santosa: Sebuah Obituari1 yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk turut serta dalam penulisan yang dipersembahkan bagi Romo Iman Budhi Santosa.

Jujur tidak mudah.

Bukan karena tidak mau atau merajuk meminta tambahan waktu. Saya merasa punya banyak hutang, PR, perintah uwis ta, catheten! dari Romo Iman yang belum saya setorkan kepada beliau hingga akhir hayatnya. Ada rasa sesal yang mendalam karena belum sempat nggurokke hasil catatan ke pada beliau. Ada perasaan bersalah sedemikian rupa yang membuat saya mulur-mungkret menyelesaikan tulisan ini.

Ada banyak kenangan, wejangan, momen puitik bersama Romo Iman yang sama-sama ingin kita tumpahkan sekadar melonggarkan sedikit sesak di dada. Namun saya sadar “ada kesedihan yang tak bisa dicairkan dengan kata-kata” dan “duka tak bisa disembuhkan dalam sekejap oleh kehadiran tetangga dan sanak kerabat”2 atas kepergian Romo Iman. Saya percaya kita semua menanggungnya. Untuk hal-hal yang masih belum tuntas tersebut biarlah itu menjadi PR pribadi, sumber energi untuk terus ngematke, nyatheti. Bukan untuk apa-apa, bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk ngugemi dhawuh

“sing ati-ati…
amerga kesandhung ing rata,
kebenthus ing tawang dalane ora mung siji.

Sebisanya saya belajar dari kesabaran Romo untuk tidak gage-gage, nuruti kramadangsa, ‘memaksa’ orang lain membaca catatan yang belum jadi.

Dibandingkan sedulur yang sempat mengenal Romo Iman dari dekat, saya termasuk yang singkat. Saya bukan sastrawan apalagi penyair. Boleh dikata saya hanyalah santri kalong. Datang ketika hati terasa garing dan kosong. Sowan ngalap berkah dari sisa kopi dan tegesan. Negesi paite kahanan. Duh!

Perkenalan intens dengan Romo Iman berlangsung sejak saya ikut rewang-rewang di Majalah Sabana tahun 2015 edisi 6, melanjutkan jejak Cak Kandar yang mandegani edisi-edisi sebelumnya. Saya benar-benar beruntung sempat berada di ruang dan waktu yang sama bersama sebagian Orang-Orang Malioboro, menyaksikan dari dekat energi paseduluran dari Mbah Nun, Romo Iman, Pak Teguh, Pak Eka, Pak Budi Sardjono, Pak Parno, Pak Mustofa W Hasyim. Biasanya mbak Ririn yang rajin mencatat. Saya hanya setor kuping.

Kisah tentang Persada Studi Klub, hampir-hampir menjadi urban-legend bagi pandemen sastra di penjuru nusantara. Sudah banyak orang yang mencatat tentang kehebatan orang-orangnya, lingkar pengaruhnya, struktur relasi kebudayaannya, metode Pendidikan sastra, dan lain sebagainya. Saya tak hendak ‘nguyahi segoro’ soal itu. Saya lebih tertarik menelisik atmosfir macam apa yang menyelimuti Yogyakarta sehingga mampu menyatukan pemuda dari berbagai latar belakang. Bagaimana Malioboro menjadi melting pot antara Poros Bulaksumur dengan Poros Gampingan.

“Saat itu banyak orang sudah mulai bosan, jenuh dengan keadaan,” kata Romo.

Serupa meski tak sama dengan yang kita alami setahun terakhir ini. Kita merasakan sendiri betapa bosannya diperintah mengurung diri di rumah saja saja karena ancaman virus Covid19. Bedanya, generasi Romo Iman bosan dicekam ketakutan paska pembantaian 1965, jenuh dengan kondisi perpolitikan, kelaparan, kemiskinan, dan teror pembunuhan.

Romo Iman sendiri, sekali tempo, pernah bercerita bagaimana ia sebagai pelajar saat itu dilatih memegang senjata. Kiranya itu pula yang membuat Romo Iman bersikap tegas emoh membahas lebih detil peristiwa seputar 65. Dalam puisi berjudul “Dalam Gelap” berangka tahun 1969, Romo Iman mencatat,

“Ketika itu angin malam di luar pagar seseorang melintas, sambil berdoa, masuk ke halaman
Untuk siapakah akhirnya peluru ini
Sebab musuh kita adalah diri sendiri
Saling berbunuhankah sebetulnya, Tuhan,
antara diriku dan engkau di medan nafsu,
sebelum lampu-lampu padam

Demikian, kira-kira, kita bisa meraba-raba lanskap energi semestanya.

Sebagai jamaah Maiyah, justru dari Romo Iman saya lebih mengenal Mbah Nun. Bodohnya saya menanyakan sesuatu yang jawabannya seterang bayang-bayang di terik siang. “Macan tenan cah kae!” demikian komentar Romo Iman ketika saya memberanikan diri bertanya kehidupan Cak Nun di masa muda kok bisa seproduktif itu menghasilkan tulisan.

Kalau boleh mengumpamakan, Romo Iman dan Mbah Nun ibarat reog ponorogo. Perpaduan indahnya  Burung Merak dan tenangnya Macan. Ini bukan sikap memitos-mitoskan atau mengkultuskan, sebagaimana sering dituduhkan kepada orang-orang Maiyah. Justru dari cerita-cerita Romo Iman, saya lebih jernih memandang manusia manusiawinya Cak Nun, Maiyah, Jamaah, ‘bedhes-bedhes’ seperti saya, dan segala yang dipersangkakan terhadapnya. Setidaknya saya mencatat 3 persamaan dari beliau berdua yang seolah sudah ginaris dalam perjanjian jiwa: Sosok Ibu, Umbu, Lelaku.

Sekali lagi saya belajar menginsyafi kasunyatan.

Di luar pertemuan redaksi Majalah Sabana yang lebih mirip klangenan saudara seperguruan, saya sesekali datang ke Dipowinatan untuk setor dongeng atau ngudari reribet. Kadang bersama teman-teman Sabanada (Sabana Muda), sebutan yang sebenarnya kami berlima (Mbak Ririn, Anggarista, Mbak Suci, plus Irul) buat-buat sendiri karena seringnya hanya bisa melongo ketika rapat bersama Bapak-Bapak PSK. Momen yang paling ngangeni dari sowan ke Padepokan Sor Sawo adalah mendengarkan Romo Iman membacakan puisi atau pitutur ibu. Angin serasa berhenti, ikut mendengarkan. Irul selalu meneror, mengingatkan Romo untuk menagih PR catatan.

Perihal kepenyairan Romo Iman, tak ada yang meragukan. Tak perlu pula dimitos-mitoskan. Tapi soal menafsir-nafsirkan kehidupan penyair, kita perlu mawas diri. Dalam beberapa kesempatan, Romo Iman sering rasan-rasan tentang kecenderungan para akademisi sastra yang menghubung-hubungkan PSK, Orang Malioboro, Emha, dkk dengan relasi kuasa apalagi kapital. “Memangnya di kampus UGM yang diajarkan dosen ke mahasiswa itu apa?”, “Dikit-dikit Bourdieu”, atau “Sosial kok modal?! Piye toh iki?!”

Saya tidak tahu apakah berondongan pertanyaan-pertanyaan itu dilontarkan juga kepada para cerdik cendekia yang datang padanya. Mungkin beliau me-muntap-kan itu karena tahu saya pernah kuliah di Bulaksumur. Saya yang bukan mahasiswa Fakultas Sastra merasa mendapatkan peluru nyasar.

Ya wis, trimah mawi pasrah. Kasunyatan tak bisa dibantah.

Kesan saya, Romo Iman cenderung kurang menyukai penggunaan teori-teori kritik sastra meskipun Romo sendiri senantiasa menganjurkan kita untuk berpikir kritis. Baginya, kritik adalah sesuatu yang nyalawadi (mengandung aib seseorang) yang berpotensi membuat wirang (malu). Kalau pun seseorang perlu menyampaikan kritik, sebaiknya disampaikan secara pribadi, tertutup, entah melalui catatan tertulis atau disampaikan secara empat mata. Kalau lah kritik disampaikan di harapan orang lain, rumusnya harus didahului poin apresiasi minimal tiga.

Pada kesempatan lain Romo menceritakan, bahkan dengan bangga menunjukkan, draft tesis mahasiswa yang mencoba mengaplikasikan ajaran Ki Ageng Suryomentaram sebagai kerangka konsep penelitian. Ia tampak sumringah mendengar Fakultas Psikologi UGM mulai mengembangkan Teori Psikologi Nusantara. Salah satunya ajaran Ki Ageng Suryomentaram melalui Sekolah Kawruh Jiwa. Dugaan saya waktu itu, Romo Iman sekadar ingin mengganggu kemapanan teori-teori Barat yang menghegemoni nalar pikir para pembelajar sastra yang datang padanya. Ia merindukan kemandirian bangsa, khususnya Jawa, sebagaimana pernah ia diskusikan dengan Romo Kuntowijoyo bertahun-tahun silam.

Sejak 2019 saya pamit ke Romo Iman untuk agak jarang bertandang. Selama 2 tahun terakhir saya njajah desa milangkori, belajar bersama warga desa di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang. Betapa nyata kisah-kisah tentang Profesi Wong Cilik, Kebun Teh Medini, dan jerat-erat Tali Pati. Kalau bukan dari Romo Iman, mungkin saya tidak akan paham mengapa angka kemiskinan di Kabupaten Pekalongan, Pemalang, Brebes dan wilayah sekitarnya setinggi lereng kaki Gunung Slamet. Dalam Jagongan Bareng warga Desa Beluk, Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang, warga sedang berembug mencari tahu asal usul keberadaan Nanas Madu (Ananas comosus) yang kini jadi produk unggulan. Hingga acara selesai, ingatan kolektif warga hanya berhenti di tahun 1980an ketika sesepuh desa mulai menanam. Dari Romo Iman pula saya dapat petunjuk tentang Lenggaong, Kutil, Dombreng, dan Peristiwa Tiga Daerah selama masa revolusi mulai kabur/dikaburkan. 

Justru setelah beliau pergi, setelah saya baca ulang pesan-pesan Romo, saya menemukan makna baru atas titah “Kembalilah Ke Jawa …” Romo tidak sedang mempromosikan Ki Ageng Suryomentaram hanya karena membela pemikiran saudara sebangsa. Ia sudah dan setia memberi tuladha bagaimana menerapkan kandha-takon, Junggringsaloka dalam lingkar paseduluran atau patembayatan. Bagaimana Romo menitipkan Kawruh Jiwa, meniupkan ruh pada diksi, rima, juga jeda di antara kata. Bagaimana Romo menunjukkan metode Jawa menghidupkan yang mati. Menjadi Manusia Tanpa Ciri, ngleluri harta karun nusantara melalui prosa, peribahasa dan puisi. Menjaga masa lalu untuk kita, generasi kiwari.

Yogyakarta, 10 Februari 2021


1 Setelah terbit berganti judul Nunggak Semi: Dunia Iman Budhi Santosa. Sayangnya buku dicetak terbatas dan tidak diperjualbelikan.

2 Iman Budhi Santosa dan Wage Daksinarga. 2017. “Kisah Miyem: Tragedi Anak Turutan” dalam buku Tali Pati Kisah Bunuh Diri di Gunung Kidul. Yogyakarta: Penerbit Interlude.

Cukuplah Kematian

“Cukuplah kematian sebagai pengingat.”

Demikian modin mengantar pemberangkatan jenazahmu Meylan Fredy Ismawan. Ada yang berdesir di dalam dada, pelan merasuk mengisi ceruk yang kian hari mengeluarkan bau busuk.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

“Cukuplah kematian sebagai pengingat.”

Demikian modin mengantar pemberangkatan jenazahmu Meylan Fredy Ismawan. Ada yang berdesir di dalam dada, pelan merasuk mengisi ceruk yang kian hari mengeluarkan bau busuk.

Masih kuingat semasa kita sama-sama duduk di bangku kuliah. kita dekat dan sering bersama. Tak tepat-tepat amat jika disebut sahabat. Lebih karena NIM kita yang berdekatan. Kita sering sekelompok bukan karena kita sepemikiran. Lebih karena kita sama-sama sering nggak kebagian kelompok.

Dosen yang tidak terlalu mengenalmu menanyakan “Dulu dia seringnya sama siapa? Siapa temannya?”
Agak bingung aku menjawabnya.

Kata Dewi Ratih Widyaningtyas, kamu termasuk mahasiswa independen, tentu dia sedang bersikap sopan untuk mengatakan kamu tidak dianggap bagian dari kelompok manapun. Kamu lebih sering jadi bahan gojekan daripada dianggap anggota perkumpulan. Kamu sering melucu dan garing. Tapi justru itu yang membuat kami tertawa. Di mataku kamu sering terlihat ingin membantu orang-orang, terutama mahasiswi. Tapi seringnya kamu dianggap sedang nginthili atau mbribiki. Mungkin itu benar tapi aku juga tahu rasanya terasing dari pergaulan. Mungkin itu pula yang membuat kita bisa berteman.

Di mataku kamu termasuk orang yang beruntung. Gagal jadi bajingan sekaligus tulus dalam berteman. Aku masih ingat saat kita sama-sama ngambil mata kuliah Fotografi. Kita sama-sama tahu jurus jitu mendapat nilai A dari mata kuliah itu, talent-nya harus cewek cantik. Sementara aku merasa tak punya nyali mbribik adik angkatan yang cantik nihh. Aku malah bikin foto essay kehidupan santri krapyak. Kamu mencegahku mengumpulkan. Kamu ga tega melihatku dapat nilai jelek. Keesokan harinya kamu datang dengan beberapa lembar foto model bergaun merah menggoda, eh merona. Sisa-sisa stok karyamu di komunitas fotografer.net. Sorry bro, karyamu eman-eman kalo harus disetor ke mas Bimo.

Mey, jujur aku iri padamu.
Kamu meninggal tanpa merepotkan banyak orang, setidaknya mereka tidak merasa kamu repotkan. Menyaksikan bagaimana orang-orang mengantarmu pulang. Istrimu dengan tegar memberikan kesaksian sambil memegang foto pernikahan kalian. Diiringi tangis lantang anakmu di belakang. Menggedor hati siapapun yang mendengar. Apalagi ketika kudengar kamu sudah mendaftar haji entah berangkat kapan. Semalam Tuhan mengabulkan doamu, kamu mendapatkan panggilan untuk pulang sebagai jiwa yang tenang.

Purworejo, 9 Dzulhijjah 1439 H

Real Deal: Dealing with Reality

Di masa sekolah dasar, saya dikenalkan dengan sebuah doa untuk dilantunkan di setiap kesempatan memulai dan mengakhiri pelajaran.

اللهُمَّ أَرِنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا التِبَاعَةَ
وَأَرِنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

Artinya: Ya Allah perlihatkan pada kami kebenaran sebagai kebenaran dan anugrahi kami untuk mampu mengikuti.
Dan perlihatkan pada kami kebatilan sebagai kebatilan dan anugrahi kami untuk menjauhi.

Hingga dewasa saya masih suka melantunkan doa itu. Saya masih selalu percaya bahwa pelajaran hidup kita seperti perjalanan melingkar. Ibarat jalan berkelok menuju puncak pegunungan. Pada satu waktu kita melihat sisi pemandangan yang sama tapi dari titik pijak yang berbeda. Apa yang menjadi pelajaran hidup di masa kecil bisa jadi akan hadir kembali di masa dewasa. Cara kita memandang persoalan menjadi penanda apakah kita benar-benar mendaki atau hanya jalan di tempat. Dari jendela pemahaman ini saya hendak menceritakan tentang sepenggal doa sederhana.

Ya, awalnya saya mengira doa itu sangat sederhana. Seperti pantun berima yang sengaja disusun agar tidak mudah lupa.

Dari segi narasi juga agak konyol. Kalau soal memohon petunjuk mana yang benar mana batil, mana yg informasi kebenaran sejati mana informasi yang nisbi, manipulasi, ilusi, bolehlah kita minta bantuan untuk diperlihatkan. Apalagi di era informasi sekarang yang penuh hoax lagi membingungkan.

Tapi soal mengikuti kebenaran dan menjauhi kebatilan, mana ada orang yg sehat akal tidak melakukan? Itu sungguh kekonyolan yang nyata.
Mungkin gara-gara mengkonyol-konyolkan doa, saya jadi kualat dan harus mengalami sendiri kebenaran doa itu. Hehehe

Doa adalah mantra. Dalam yoga, pikiran dan kata digunakan sebagai senjata perlindungan. Sejak rutin melafalkan doa itu perjalanan hidup membawaku untuk selalu tertarik pada pengetahuan dan mencari kebenaran sejati. (Di kemudian hari saya baru tahu kalau doa itu adalah salah satu doa yang dianjurkan untuk para pelaku tarekat.)

Saya mempertanyakan semua yang diajarkan, saya cari sendiri sumber-sumber yang dijadikan rujukan, saya bongkar dan kritisi apa yang dianggap sebagai aturan. Ada masa di mana saya muak dengan aturan syar’i harga mati, syariat yang kaku dan mengikat.

Tidak cuma urusan syariat, terhadap norma sosial, relasi, dan pertemanan saya berhenti basa basi. I become brutally honest. Kalau iya bilang iya, enggak bilang enggak. Jangan iya yang enggak-enggak.

Kebenaran adalah cahaya matahari yang tak mungkin engkau tolak kehadirannya. Kau bisa bersembunyi darinya tapi tak bisa kau tunda terbitnya. Kau bisa menutupi dirimu dari cahaya tapi dalam hatimu kau tahu bahwa cahaya itu ada. Kuhamparkan kebenaran tanpa peduli seberapa yang dibutuhkan. Hadirku membawa panas yang membakar, menjalar, dan menghanguskan.

Dari situ saya sadar. Tak semua orang benar-benar siap menerima kebenaran. Bukan kebenaran sejati yang benar-benar orang lain butuhkan dariku. Saya belajar tentang jarak sekiranya panasku cukup menghangatkan, syukur-syukur bisa menumbuhkan benih-benih kesadaran. Kalaupun tidak, setidaknya hadirku tidak menganggu perjalanan.

Kota Sejuta Romansa, 28 Mei 2018

NB: Tulisan ini saya persembahkan sebagai ucapan terima kasih kepada Mbah Nun yang secara langsung dan tidak langsung mengajari bagaimana berhadapan dan mengelola kebenaran tanpa kehilangan pegangan. Selamat Enam Lima Mbah

Angka Semesta

Angka semesta selalu dalam keseimbangan tetap, sampai suatu ketika berubah.

Infinity
Angka semesta selalu dalam keseimbangan tetap, sampai suatu ketika berubah. Ketidaktahuan kita akan kepastian masa depan, ketidakmampuan kita untuk memengaruhi hasil akhirnya adalah penyeimbang yang hebat. Itu membuat dunia menjadi terlihat lebih adil. Bahwa semua sama-sama tak berdaya di hadapan ketidakpastian.
Komputer menghasilkan angka acak dengan tujuan agar kita mengumpulkan sedikit demi sedikit arti dari ketakterhinggaan jumlah kemungkinan. Deretan angka tak berakhir, pola angka yang tak selesai, selama kejadian bencana alam tiba-tiba berhenti acak. Saat kumpulan kesadaran kita bersinkronisasi, begitu juga angka-angka semesta.
Belum ada ilmu yang bisa menjelaskan cara teknologinya tapi agama bisa. Tak usah bertanya agama yang mana. Satu-satunya agama di sisiNya adalah kesadaran bulat untuk pasrah total. Dalam agama, teknologi itu disebut doa. Suatu permintaan kolektif dikirimkan secara serempak, bangkitnya harapan, hilangnya ketakutan, berbagi perasaan dan makna hidup dengan sesama makhluk, menyebabkan angka semesta menuju koordinat harmoni.
Haruskah gunung-gunung bergolak lagi, gunung es melelehkan diri, bumi menggeser diri, kelompok manusia saling hujat, saling usir, saling serang lagi agar kita mengakui kesalahurusan, kelancangan, sekaligus ketidakberdayaan kita mengatasi kerusakan bumi akibat ulah tangan kita sendiri?! Hingga akhirnya kita terpaksa menyelaraskan energi yang sama, berdoa dengan permintaan yang sama.
Aman aman British Raya aman.
Aman aman Turki aman.
Aman aman IndonesiaRayya amaan.
-menungguvega.memandangmega. 29062016

Karma Simalakama

Mencari Buah Simalakama adalah sebuah naskah drama yang sedang diproses oleh Teater Perdikan. Pada Mocopat Syafaat tanggal 17 Juni kemarin, naskah itu dibawakan dalam format Dramatic Reading. Selama mendengarkan, pikiran saya mengembara, gagasan berlompatan, mencari persambungan dengan gagasan-gagasan di luar naskah. Ada yang persambungannya sangat personal dengan apa yang sedang saya alami adapula yang nyambung secara tema dengan problem kebangsaan.

Saya tak sempat mencatat, tak sempat pula merekam. Berikut ini adalah cara saya mengingat fragmen dari naskah tersebut. Fragmen ketika Anoman diutus oleh Ki Semar untuk mencari buah Simalakama. Dalam pencariannya ke kahyangan, Anoman ditemui Dewi Uma, istri Batara Guru. Dewi Uma, sebelum dikutuk menjadi dewi durga penguasa setra gandamayit, adalah perempuan yang cantik, genit, dan jemawil alias jawilable. Anoman memang mendapatkan buah Simalakama lengkap dengan penjelasannya dari Dewi Uma tetapi juga sempat khilaf tergoda njawil Dewi Uma. Terkonanglah adegan jawil menjawil itu oleh Batara Guru.

Singkat cerita, akibat affair kelas kahyangan tersebut, di dunia dimensi ketiga, alam mayapada, Bagong terjerat asmara dan galau tak ketulungan. Anoman yang baru saja mengalami ingin segera turun dan membantu Bagong untuk lepas dari jerat-jerat asmara. Tentu saja berbeda redaksinya tapi inti ceritanya senada.


“Jangan kau libatkan dirimu, Ngger Anoman” kata Batara Guru.
“Tapi Guru, itu Bagong menjerit minta tolong. Biar wajahnya nylekuthis, mulutnya ceriwis, komentarnya sadis, Bagong tetap putra Ki Semar. Anggota Ponokawan juga. Sama Bagong, saya tega larane tapi ora tega patine,” Sanggah Anoman.

“Lalu?” Batara Guru pura-pura tidak tahu arah bicara Anoman.
“Ya hamba harus menolongnya.” Jawab Anoman segera.

“Mengapa begitu?! Siapa yang mengharuskan?!” Batara Guru menggoda dan Anoman tetap belum menyadarinya.
“Bagong, ponokawan, dan semua ksatria putih ada di dalam lingkar pengawasan, lingkar pertemanan, dan lingkar pengabdian hamba. Hamba mengharuskan diri untuk membantu mereka.” Anoman menjelaskan dengan wajah serius.

“Begitukah, Ngger Anoman?!” Batara Guru bertanya sambil menahan senyum di ujung bibir.
Mata Anoman cukup jeli melihat senyum yang dirahasiakan itu tapi tak tahu apa maksudnya.
“Ngg… ya begitu… hamba kira sih begitu.. Lak yo begitu tho seharusnya?! Apa gimana?!” Anoman mulai ragu dan mempertanyakan kalimatnya sendiri.

Ngger Anoman. Kamu memang kera. Bukan manusia. Hatimu putih. Betapa polos dan suci niatmu mengabdi. Menjalankan perintah tanpa pernah mau tahu ada apa di balik itu. Tak peduli intrik para ksatria, tikungan iblis, atau eksperimen para dewa. Yang kamu tahu hanyalah berdharma” Batara Guru berkata dengan tatapan menerawang.

“Ampuni hamba, Batara Guru. Hamba ini memang cuma kera. Tapi mbok ya tolong kalau menjelaskan sesuatu dengan bahasa yang mudah saja. Pakai bahasa manusia saja kadang gagal paham apalagi bahasa dewa. Lalu apa hubungannya dengan Bagong tadi, Guru?” Anoman tambah bingung.

“Hmmm… Begini Ngger. Soal Bagong, kamu tak usah ikut campur. Aku tahu hatimu berat melihat penderitaannya tapi itu bukan karmamu. Biarlah itu menjadi pelajaran bagi Bagong pribadi, ujian bagi solidaritas Ponokawan, terutama bagi para ksatria Pandawa agar belajar ngicipi tanggung jawab. Karma adalah salah satu bentuk Sih, atau Cinta dari para Dewa bagi makhluk, yang mengejawantah di alam mayapada.

“Melalui karma, tiap makhluk bercengkrama dengan jagad dewata. Karma tiap makhluk berbeda-beda. Sangat personal. Kalian boleh saling bekerja sama menuntaskan karma masing-masing tapi jangan sekali-kali lancang menabrak paugeran, daulat diri, makhluk lain. Itu sama saja kamu sok tahu ngajari dewa apa yang mesti dilakukan” Batara Guru menjelaskan panjang lebar.

Anoman hanya ndomblong mendengarkan.
“Ampuni hamba, Batara” meski masih bingung, Anoman menyadari ada yang salah dari sikapnya.
“Tak apa Ngger Anoman. Kamu di sini saja barang sebentar. Istirahatlah sambil kamu cari cara bagaimana membawa buah simalakama ke hadapan raja Astina.” Batara Guru menghilang dari pandangan.

Kena Bandhilan

“Kemana perginya kata setelah ia diucapkan?
Kemana perginya pikiran setelah ia dituliskan?”

Selalu terasa lucu dan nggatheli tiap kali ingat bagaimana Allah menegurku dengan kata-kataku sendiri. Teman-teman Diskusi Martabat menyebutnya dengan istilah Kena Bandhilan. Tapi kena bandhilan itu kalo kita ga menyadari prosesnya sedangkan kalo sejak awal tahu bahwa kata-kata, persepsi dan pengetahuan yang kita yakini akan menuntut tanggung jawab itu namanya Kulakan Bandhilan.

Seorang dosen pernah mengawali sesi pagi dengan pertanyaan, “Kemana perginya kata setelah ia diucapkan? Kemana perginya pikiran setelah ia dituliskan?” Apakah kata-kata kita tersimpan di suatu tempat seperti kode-kode digital yg tersimpan di server awan?

Kata, suara, pikiran kita adalah getaran/gelombang. Begitu selesai diucapkan kata itu berputar-putar menyelubungi diri kita sebagai energi. Sebagaimana hukum energi, ia akan mencari, menarik gelombang yg sefrekuensi. Ketika koordinat ruang dan waktunya tepat, energi itu kembali menguat dan memunculkan koordinat rasa yang akurat. Di situlah momentum kita untuk mengingat. Kalau perlu mencatatnya sebagai pelajaran dari pengalaman. Apakah rasa itu yg jiwa kita inginkan ataukah kita berendah hati merevisi agar relung hati tak tersakiti. Seperti kata lagunya Letto, “semestinya kata-kata cerminkan jiwa… kini saatnya engkau berhenti melukai relung hati”

“Hidup adalah perjuangan”, kata Rendra. “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.” Mungkin terlalu berat dibayangkan bagaimana mengubah semuanya tapi setidaknya kita bisa memulainya dengan lebih memperbaiki kata-kata kita.

Selamat hari Jumat, utamakan Selawat. 🙂

Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah dalam Nikah

Bahwa kehidupan adalah medan juang, samudra pembelajaran. Keluarga adalah sampan yang kita kemudikan. Wadud dan Rahmah adalah dua kayuh untuk mendayung sampan. Ibarat dua sayap yang membantumu terbang.

sakinah_mawadah_warahmah_by_alvinhenanda-d79176o

Maukah kau menikah denganku? – bisa jadi perlu ditilik dengan perspektif yang rumit.” (Dian Arymami)

Penjabaran mbak Dian memang rumit – jelas rumitlaah Cinta level disertasi je – tapi sebenarnya belum seberapa rumit. Ada penjelasan yang lebih rumit tentang pernikahan sampai tingkat galaksi semesta. Sejauh yang kupelajari, pola perjodohan, couple-mating terentang dari level atom hingga galaksi. Bahwa sel-sel melakukan penyatuan untuk berkembang menjadi organisme yang lebih kompleks. Bahwa bintang dan galaksi juga melakukan ‘act of mating‘ (www.independent.co.uk).

Tapi itu bahasan untuk lain kesempatan saja. Kali ini aku ingin menawarkan pemaknaan alternatif saja tentang doa pernikahan. Bukan kebetulan juga kukira ketika tadi pagi tiba-tiba ada pesan masuk dari seorang kawan lama menanyakan “Am, doa golek jodoh opo yo?” *nggg

Dalam budaya kita, terutama Islam, doa yang sering diucapkan kepada kedua mempelai adalah semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Sakinah biasa dimaknai tentram, tenang, diam. Sakinah dari kata sukun (berhenti, diam). seperti lagunya Anji Cintaku Berhenti di Kamu dek. Lalu mawaddah dari kata wadud dan rahmah (seakar dengan kata rahman rahim) yang memiliki arti kurang lebih sama, Cinta, kasih dan sayang. Meski antara wadud, rahman, maupun rahiim memiliki nuansa rasa yang berbeda.

Wadud atau mencintai bisa kita maknai sebagai kualitas emosi yang selalu ingin memberi, segala tindakan yang kita persembahkan untuk orang/sesuatu yang kita cintai. Wadud juga menyimpan makna kelapangan atau kekosongan. Dengan kata lain, wadud adalah cinta yang memberi. Energi yang selalu mendorongmu untuk merayu, mendekat, lalu menyatu bersama kekasihmu. Sementara rahmah mengandung makna cinta yang melayani, menampung, ngemong. Untuk bisa melayani, menampung, ngemong, seseorang harus memiliki keluasan pandang, kelapangan hati untuk menerima apapun yang dimiliki, dibutuhkan, dan diminta oleh orang/sesuatu yang kita sayangi. Singkat kata, rahmah adalah cinta yang menerima, tresna nampa. Keluasan hati menampung. Ruang yang kau sediakan untuk berlangsungnya segala dinamika cintamu.

Lalu di mana posisi sakinahnya?

Sakinah adalah keadaan, state of things. Sakinah adalah output dari proses pernikahan berupa harmoni, titik equilibrium, ketika semuanya berada di titik kesetimbangan. Konsep sakinah dalam pernikahan sendiri bukan keadaan yang tetap. Sebagaimana alam semesta selalu dalam proses menuju harmoni. Tidak ada jaminan bahwa ketika keharmonisan keluarga sudah kita dapat, itu akan berlangsung selamanya. Akan ada perubahaan konstelasi, kesadaran diri, kebutuhan ekonomi, status sosial dan lain sebagainya yang menggoyahkan kesakinahan keluarga.
Pertanyaannya adalah, apakah kita mau terus berupaya ‘li-taskunuu ilaiha‘ (mengupayakan kedamaian dalam keluarga dengan memberikan kebahagiaan pada pasangan) bukan ‘li taskunuu fiiha‘ (mencari kedamaian apalagi bahagia dari pernikahan). Mas Sabrang “Noe” Panuluh pernah serius berkelakar barang siapa menikah karena mencari bahagia, niscaya dia akan kecewa.

Dengan begini, kita bisa mengucapkan doa “semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah” dengan positioning yang lebih jelas. Bahwa kehidupan adalah medan juang, samudra pembelajaran. Keluarga adalah sampan yang kita kemudikan. Wadud dan Rahmah adalah dua kayuh untuk mendayung sampan. Ibarat dua sayap yang membantumu terbang.

Mungkin kalau mau lebih lengkap doanya jadi seperti ini “Selamat mengaruhi samudra dengan bahtera bernama keluarga, dengan kayuh mawaddah dan kayuh rahmah dari Allah. Semoga dengan kedua kayuhmu kalian akan senantiasa sakinah menghadapi gelombang samudra kehidupan dari arah yang tak disangka-sangka.

Sudahkah kita mengasah kayuh cinta kita?

 

Kota Sejuta Romansa, 27 April 2016