Sesaji untuk Iman Budhi

… ada kesedihan yang tak bisa dicairkan dengan kata-kata.
duka tak bisa disembuhkan dalam sekejap oleh kehadiran tetangga dan sanak kerabat… (IBS)

Terima kasih tak terhingga saya sampaikan kepada Cak Kandar, kang mas sedulur sinarawedi, dan Panitia Penyusunan dan Penerbitan Buku Iman Budhi Santosa: Sebuah Obituari1 yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk turut serta dalam penulisan yang dipersembahkan bagi Romo Iman Budhi Santosa.

Jujur tidak mudah.

Bukan karena tidak mau atau merajuk meminta tambahan waktu. Saya merasa punya banyak hutang, PR, perintah uwis ta, catheten! dari Romo Iman yang belum saya setorkan kepada beliau hingga akhir hayatnya. Ada rasa sesal yang mendalam karena belum sempat nggurokke hasil catatan ke pada beliau. Ada perasaan bersalah sedemikian rupa yang membuat saya mulur-mungkret menyelesaikan tulisan ini.

Ada banyak kenangan, wejangan, momen puitik bersama Romo Iman yang sama-sama ingin kita tumpahkan sekadar melonggarkan sedikit sesak di dada. Namun saya sadar “ada kesedihan yang tak bisa dicairkan dengan kata-kata” dan “duka tak bisa disembuhkan dalam sekejap oleh kehadiran tetangga dan sanak kerabat”2 atas kepergian Romo Iman. Saya percaya kita semua menanggungnya. Untuk hal-hal yang masih belum tuntas tersebut biarlah itu menjadi PR pribadi, sumber energi untuk terus ngematke, nyatheti. Bukan untuk apa-apa, bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk ngugemi dhawuh

“sing ati-ati…
amerga kesandhung ing rata,
kebenthus ing tawang dalane ora mung siji.

Sebisanya saya belajar dari kesabaran Romo untuk tidak gage-gage, nuruti kramadangsa, ‘memaksa’ orang lain membaca catatan yang belum jadi.

Dibandingkan sedulur yang sempat mengenal Romo Iman dari dekat, saya termasuk yang singkat. Saya bukan sastrawan apalagi penyair. Boleh dikata saya hanyalah santri kalong. Datang ketika hati terasa garing dan kosong. Sowan ngalap berkah dari sisa kopi dan tegesan. Negesi paite kahanan. Duh!

Perkenalan intens dengan Romo Iman berlangsung sejak saya ikut rewang-rewang di Majalah Sabana tahun 2015 edisi 6, melanjutkan jejak Cak Kandar yang mandegani edisi-edisi sebelumnya. Saya benar-benar beruntung sempat berada di ruang dan waktu yang sama bersama sebagian Orang-Orang Malioboro, menyaksikan dari dekat energi paseduluran dari Mbah Nun, Romo Iman, Pak Teguh, Pak Eka, Pak Budi Sardjono, Pak Parno, Pak Mustofa W Hasyim. Biasanya mbak Ririn yang rajin mencatat. Saya hanya setor kuping.

Kisah tentang Persada Studi Klub, hampir-hampir menjadi urban-legend bagi pandemen sastra di penjuru nusantara. Sudah banyak orang yang mencatat tentang kehebatan orang-orangnya, lingkar pengaruhnya, struktur relasi kebudayaannya, metode Pendidikan sastra, dan lain sebagainya. Saya tak hendak ‘nguyahi segoro’ soal itu. Saya lebih tertarik menelisik atmosfir macam apa yang menyelimuti Yogyakarta sehingga mampu menyatukan pemuda dari berbagai latar belakang. Bagaimana Malioboro menjadi melting pot antara Poros Bulaksumur dengan Poros Gampingan.

“Saat itu banyak orang sudah mulai bosan, jenuh dengan keadaan,” kata Romo.

Serupa meski tak sama dengan yang kita alami setahun terakhir ini. Kita merasakan sendiri betapa bosannya diperintah mengurung diri di rumah saja saja karena ancaman virus Covid19. Bedanya, generasi Romo Iman bosan dicekam ketakutan paska pembantaian 1965, jenuh dengan kondisi perpolitikan, kelaparan, kemiskinan, dan teror pembunuhan.

Romo Iman sendiri, sekali tempo, pernah bercerita bagaimana ia sebagai pelajar saat itu dilatih memegang senjata. Kiranya itu pula yang membuat Romo Iman bersikap tegas emoh membahas lebih detil peristiwa seputar 65. Dalam puisi berjudul “Dalam Gelap” berangka tahun 1969, Romo Iman mencatat,

“Ketika itu angin malam di luar pagar seseorang melintas, sambil berdoa, masuk ke halaman
Untuk siapakah akhirnya peluru ini
Sebab musuh kita adalah diri sendiri
Saling berbunuhankah sebetulnya, Tuhan,
antara diriku dan engkau di medan nafsu,
sebelum lampu-lampu padam

Demikian, kira-kira, kita bisa meraba-raba lanskap energi semestanya.

Sebagai jamaah Maiyah, justru dari Romo Iman saya lebih mengenal Mbah Nun. Bodohnya saya menanyakan sesuatu yang jawabannya seterang bayang-bayang di terik siang. “Macan tenan cah kae!” demikian komentar Romo Iman ketika saya memberanikan diri bertanya kehidupan Cak Nun di masa muda kok bisa seproduktif itu menghasilkan tulisan.

Kalau boleh mengumpamakan, Romo Iman dan Mbah Nun ibarat reog ponorogo. Perpaduan indahnya  Burung Merak dan tenangnya Macan. Ini bukan sikap memitos-mitoskan atau mengkultuskan, sebagaimana sering dituduhkan kepada orang-orang Maiyah. Justru dari cerita-cerita Romo Iman, saya lebih jernih memandang manusia manusiawinya Cak Nun, Maiyah, Jamaah, ‘bedhes-bedhes’ seperti saya, dan segala yang dipersangkakan terhadapnya. Setidaknya saya mencatat 3 persamaan dari beliau berdua yang seolah sudah ginaris dalam perjanjian jiwa: Sosok Ibu, Umbu, Lelaku.

Sekali lagi saya belajar menginsyafi kasunyatan.

Di luar pertemuan redaksi Majalah Sabana yang lebih mirip klangenan saudara seperguruan, saya sesekali datang ke Dipowinatan untuk setor dongeng atau ngudari reribet. Kadang bersama teman-teman Sabanada (Sabana Muda), sebutan yang sebenarnya kami berlima (Mbak Ririn, Anggarista, Mbak Suci, plus Irul) buat-buat sendiri karena seringnya hanya bisa melongo ketika rapat bersama Bapak-Bapak PSK. Momen yang paling ngangeni dari sowan ke Padepokan Sor Sawo adalah mendengarkan Romo Iman membacakan puisi atau pitutur ibu. Angin serasa berhenti, ikut mendengarkan. Irul selalu meneror, mengingatkan Romo untuk menagih PR catatan.

Perihal kepenyairan Romo Iman, tak ada yang meragukan. Tak perlu pula dimitos-mitoskan. Tapi soal menafsir-nafsirkan kehidupan penyair, kita perlu mawas diri. Dalam beberapa kesempatan, Romo Iman sering rasan-rasan tentang kecenderungan para akademisi sastra yang menghubung-hubungkan PSK, Orang Malioboro, Emha, dkk dengan relasi kuasa apalagi kapital. “Memangnya di kampus UGM yang diajarkan dosen ke mahasiswa itu apa?”, “Dikit-dikit Bourdieu”, atau “Sosial kok modal?! Piye toh iki?!”

Saya tidak tahu apakah berondongan pertanyaan-pertanyaan itu dilontarkan juga kepada para cerdik cendekia yang datang padanya. Mungkin beliau me-muntap-kan itu karena tahu saya pernah kuliah di Bulaksumur. Saya yang bukan mahasiswa Fakultas Sastra merasa mendapatkan peluru nyasar.

Ya wis, trimah mawi pasrah. Kasunyatan tak bisa dibantah.

Kesan saya, Romo Iman cenderung kurang menyukai penggunaan teori-teori kritik sastra meskipun Romo sendiri senantiasa menganjurkan kita untuk berpikir kritis. Baginya, kritik adalah sesuatu yang nyalawadi (mengandung aib seseorang) yang berpotensi membuat wirang (malu). Kalau pun seseorang perlu menyampaikan kritik, sebaiknya disampaikan secara pribadi, tertutup, entah melalui catatan tertulis atau disampaikan secara empat mata. Kalau lah kritik disampaikan di harapan orang lain, rumusnya harus didahului poin apresiasi minimal tiga.

Pada kesempatan lain Romo menceritakan, bahkan dengan bangga menunjukkan, draft tesis mahasiswa yang mencoba mengaplikasikan ajaran Ki Ageng Suryomentaram sebagai kerangka konsep penelitian. Ia tampak sumringah mendengar Fakultas Psikologi UGM mulai mengembangkan Teori Psikologi Nusantara. Salah satunya ajaran Ki Ageng Suryomentaram melalui Sekolah Kawruh Jiwa. Dugaan saya waktu itu, Romo Iman sekadar ingin mengganggu kemapanan teori-teori Barat yang menghegemoni nalar pikir para pembelajar sastra yang datang padanya. Ia merindukan kemandirian bangsa, khususnya Jawa, sebagaimana pernah ia diskusikan dengan Romo Kuntowijoyo bertahun-tahun silam.

Sejak 2019 saya pamit ke Romo Iman untuk agak jarang bertandang. Selama 2 tahun terakhir saya njajah desa milangkori, belajar bersama warga desa di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang. Betapa nyata kisah-kisah tentang Profesi Wong Cilik, Kebun Teh Medini, dan jerat-erat Tali Pati. Kalau bukan dari Romo Iman, mungkin saya tidak akan paham mengapa angka kemiskinan di Kabupaten Pekalongan, Pemalang, Brebes dan wilayah sekitarnya setinggi lereng kaki Gunung Slamet. Dalam Jagongan Bareng warga Desa Beluk, Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang, warga sedang berembug mencari tahu asal usul keberadaan Nanas Madu (Ananas comosus) yang kini jadi produk unggulan. Hingga acara selesai, ingatan kolektif warga hanya berhenti di tahun 1980an ketika sesepuh desa mulai menanam. Dari Romo Iman pula saya dapat petunjuk tentang Lenggaong, Kutil, Dombreng, dan Peristiwa Tiga Daerah selama masa revolusi mulai kabur/dikaburkan. 

Justru setelah beliau pergi, setelah saya baca ulang pesan-pesan Romo, saya menemukan makna baru atas titah “Kembalilah Ke Jawa …” Romo tidak sedang mempromosikan Ki Ageng Suryomentaram hanya karena membela pemikiran saudara sebangsa. Ia sudah dan setia memberi tuladha bagaimana menerapkan kandha-takon, Junggringsaloka dalam lingkar paseduluran atau patembayatan. Bagaimana Romo menitipkan Kawruh Jiwa, meniupkan ruh pada diksi, rima, juga jeda di antara kata. Bagaimana Romo menunjukkan metode Jawa menghidupkan yang mati. Menjadi Manusia Tanpa Ciri, ngleluri harta karun nusantara melalui prosa, peribahasa dan puisi. Menjaga masa lalu untuk kita, generasi kiwari.

Yogyakarta, 10 Februari 2021


1 Setelah terbit berganti judul Nunggak Semi: Dunia Iman Budhi Santosa. Sayangnya buku dicetak terbatas dan tidak diperjualbelikan.

2 Iman Budhi Santosa dan Wage Daksinarga. 2017. “Kisah Miyem: Tragedi Anak Turutan” dalam buku Tali Pati Kisah Bunuh Diri di Gunung Kidul. Yogyakarta: Penerbit Interlude.

Ziarah Kebun Teh Kaligua

Untuk Iman Budhi Santosa:

Rama
Tak ada derik jangkrik malam ini
Tidak juga gemintang bisa kupandang
Hanya deras hujan, angin gunung menusuk tulang
dan kisah Daradasih melintasi bayang

Rama
Aku mengenal namamu lebih dulu
Dari sampul buku yang menemaniku
Mensiasati jam-jam istirahat sekolah tanpa sangu
kecuali restu bapak ibu

Rama
Dua hari yang lalu aku sowan ke rumah persinggahan
Sepetak kontrakan di jalan Dipowinatan
Tempatku ngangsu kawruh, kandha-takon
Belum bulat 24 jam sejak kabar kepergianmu
Kulihat meja kursi di teras menjelma puisi
kasunyatan

Sesunyi itukah kehidupan penyair?
Berbilang tahun berpuasa dari hidup yang senda gurau belaka

berkawan bayangan yang tidur sejak hari pertama
menanggung rindu meringkus birahi
untuk mengerti dan dimengerti
dalam perjamuan di batas tidur
dan jaga
dalam
sunyi1

Rama
Betapa berat ngurupi urip rasa ngrumangsani
Tansah ngelakoni laku kang lumaku
Kanthi setya lan mituhu anampi ginarising pepesthi
Amorfati!2

Ah tidak!
Engkau pasti menyangkal “Iku lak anggitmu!
Seperti pesan yang kau tulis pada alamatmu, larik-larik puisi

“Sehabis kututup pintu dan terdiam, sesaat
nampaklah diriku, ada
di mana-mana
di setiap benda”

Rama,
Usai sudah tugasmu bertugas menjaga masa lalu
Kalakanji yang kau sebar, kini
nunggak semi, mekar, menebar wangi
aroma sabana di antara ilalang perdu

Suta Naya Dhadap Waru, kini
bersahut-sahutan merapal Sesanti Tedhak Siti
di lubuk sanubari, setiap hati
yang setia mencari

Brebes, 12 Desember 2020



1 Puisi IBS berjudul “Penyair” dalam Dunia Semata Wayang: Seikat Sajak 1969-1995

2 Amorfati sebuah ungkapan yang dipopulerkan oleh Friedrich Nietzsche yang kurang lebih berarti mencintai takdir. Sebuah sikap hidup yang tidak saja tabah menanggung segala keharusan (penderitaan atas takdir), melainkan juga mencintainya. Dikutip IBS dalam buku Talipati: Kisah-kisah Bunuh Diri di Gunung Kidul.

Cukuplah Kematian

“Cukuplah kematian sebagai pengingat.”

Demikian modin mengantar pemberangkatan jenazahmu Meylan Fredy Ismawan. Ada yang berdesir di dalam dada, pelan merasuk mengisi ceruk yang kian hari mengeluarkan bau busuk.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

“Cukuplah kematian sebagai pengingat.”

Demikian modin mengantar pemberangkatan jenazahmu Meylan Fredy Ismawan. Ada yang berdesir di dalam dada, pelan merasuk mengisi ceruk yang kian hari mengeluarkan bau busuk.

Masih kuingat semasa kita sama-sama duduk di bangku kuliah. kita dekat dan sering bersama. Tak tepat-tepat amat jika disebut sahabat. Lebih karena NIM kita yang berdekatan. Kita sering sekelompok bukan karena kita sepemikiran. Lebih karena kita sama-sama sering nggak kebagian kelompok.

Dosen yang tidak terlalu mengenalmu menanyakan “Dulu dia seringnya sama siapa? Siapa temannya?”
Agak bingung aku menjawabnya.

Kata Dewi Ratih Widyaningtyas, kamu termasuk mahasiswa independen, tentu dia sedang bersikap sopan untuk mengatakan kamu tidak dianggap bagian dari kelompok manapun. Kamu lebih sering jadi bahan gojekan daripada dianggap anggota perkumpulan. Kamu sering melucu dan garing. Tapi justru itu yang membuat kami tertawa. Di mataku kamu sering terlihat ingin membantu orang-orang, terutama mahasiswi. Tapi seringnya kamu dianggap sedang nginthili atau mbribiki. Mungkin itu benar tapi aku juga tahu rasanya terasing dari pergaulan. Mungkin itu pula yang membuat kita bisa berteman.

Di mataku kamu termasuk orang yang beruntung. Gagal jadi bajingan sekaligus tulus dalam berteman. Aku masih ingat saat kita sama-sama ngambil mata kuliah Fotografi. Kita sama-sama tahu jurus jitu mendapat nilai A dari mata kuliah itu, talent-nya harus cewek cantik. Sementara aku merasa tak punya nyali mbribik adik angkatan yang cantik nihh. Aku malah bikin foto essay kehidupan santri krapyak. Kamu mencegahku mengumpulkan. Kamu ga tega melihatku dapat nilai jelek. Keesokan harinya kamu datang dengan beberapa lembar foto model bergaun merah menggoda, eh merona. Sisa-sisa stok karyamu di komunitas fotografer.net. Sorry bro, karyamu eman-eman kalo harus disetor ke mas Bimo.

Mey, jujur aku iri padamu.
Kamu meninggal tanpa merepotkan banyak orang, setidaknya mereka tidak merasa kamu repotkan. Menyaksikan bagaimana orang-orang mengantarmu pulang. Istrimu dengan tegar memberikan kesaksian sambil memegang foto pernikahan kalian. Diiringi tangis lantang anakmu di belakang. Menggedor hati siapapun yang mendengar. Apalagi ketika kudengar kamu sudah mendaftar haji entah berangkat kapan. Semalam Tuhan mengabulkan doamu, kamu mendapatkan panggilan untuk pulang sebagai jiwa yang tenang.

Purworejo, 9 Dzulhijjah 1439 H

Real Deal: Dealing with Reality

Di masa sekolah dasar, saya dikenalkan dengan sebuah doa untuk dilantunkan di setiap kesempatan memulai dan mengakhiri pelajaran.

اللهُمَّ أَرِنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا التِبَاعَةَ
وَأَرِنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

Artinya: Ya Allah perlihatkan pada kami kebenaran sebagai kebenaran dan anugrahi kami untuk mampu mengikuti.
Dan perlihatkan pada kami kebatilan sebagai kebatilan dan anugrahi kami untuk menjauhi.

Hingga dewasa saya masih suka melantunkan doa itu. Saya masih selalu percaya bahwa pelajaran hidup kita seperti perjalanan melingkar. Ibarat jalan berkelok menuju puncak pegunungan. Pada satu waktu kita melihat sisi pemandangan yang sama tapi dari titik pijak yang berbeda. Apa yang menjadi pelajaran hidup di masa kecil bisa jadi akan hadir kembali di masa dewasa. Cara kita memandang persoalan menjadi penanda apakah kita benar-benar mendaki atau hanya jalan di tempat. Dari jendela pemahaman ini saya hendak menceritakan tentang sepenggal doa sederhana.

Ya, awalnya saya mengira doa itu sangat sederhana. Seperti pantun berima yang sengaja disusun agar tidak mudah lupa.

Dari segi narasi juga agak konyol. Kalau soal memohon petunjuk mana yang benar mana batil, mana yg informasi kebenaran sejati mana informasi yang nisbi, manipulasi, ilusi, bolehlah kita minta bantuan untuk diperlihatkan. Apalagi di era informasi sekarang yang penuh hoax lagi membingungkan.

Tapi soal mengikuti kebenaran dan menjauhi kebatilan, mana ada orang yg sehat akal tidak melakukan? Itu sungguh kekonyolan yang nyata.
Mungkin gara-gara mengkonyol-konyolkan doa, saya jadi kualat dan harus mengalami sendiri kebenaran doa itu. Hehehe

Doa adalah mantra. Dalam yoga, pikiran dan kata digunakan sebagai senjata perlindungan. Sejak rutin melafalkan doa itu perjalanan hidup membawaku untuk selalu tertarik pada pengetahuan dan mencari kebenaran sejati. (Di kemudian hari saya baru tahu kalau doa itu adalah salah satu doa yang dianjurkan untuk para pelaku tarekat.)

Saya mempertanyakan semua yang diajarkan, saya cari sendiri sumber-sumber yang dijadikan rujukan, saya bongkar dan kritisi apa yang dianggap sebagai aturan. Ada masa di mana saya muak dengan aturan syar’i harga mati, syariat yang kaku dan mengikat.

Tidak cuma urusan syariat, terhadap norma sosial, relasi, dan pertemanan saya berhenti basa basi. I become brutally honest. Kalau iya bilang iya, enggak bilang enggak. Jangan iya yang enggak-enggak.

Kebenaran adalah cahaya matahari yang tak mungkin engkau tolak kehadirannya. Kau bisa bersembunyi darinya tapi tak bisa kau tunda terbitnya. Kau bisa menutupi dirimu dari cahaya tapi dalam hatimu kau tahu bahwa cahaya itu ada. Kuhamparkan kebenaran tanpa peduli seberapa yang dibutuhkan. Hadirku membawa panas yang membakar, menjalar, dan menghanguskan.

Dari situ saya sadar. Tak semua orang benar-benar siap menerima kebenaran. Bukan kebenaran sejati yang benar-benar orang lain butuhkan dariku. Saya belajar tentang jarak sekiranya panasku cukup menghangatkan, syukur-syukur bisa menumbuhkan benih-benih kesadaran. Kalaupun tidak, setidaknya hadirku tidak menganggu perjalanan.

Kota Sejuta Romansa, 28 Mei 2018

NB: Tulisan ini saya persembahkan sebagai ucapan terima kasih kepada Mbah Nun yang secara langsung dan tidak langsung mengajari bagaimana berhadapan dan mengelola kebenaran tanpa kehilangan pegangan. Selamat Enam Lima Mbah

Neng Ning Nung

Reribeting rwabeda
Sakjroning sirah lan dada
Iku tanda mulur mungkrete kramadangsa
Swara pangaku-aku lan pangarep-arep donya

Yen ta karep sapa sira
Anutup hawa lan swara teka njaba
Anteng meneng kekancan peteng
Anyegur nyegara tanpa rupa
Amrih sesuci ing weninge tlaga

Kaeksi kahanan jatining diri
Dadya panyeksi ning rat lir ginanti
Mugi dumununga sira ing rasa sejati
Yen urip iku pasinaon rasa ngrumangsani

 

Yogyakarta, 01112017

Hidup Adalah Menanam

الدني مزراءة الاخرة

(Kehidupan) Dunia adalah ladang (kehidupan) akhirat. Begitu kata para ustadz.
Kita semua adalah petani/penanam. Tugas kita menanam, menanam, dan menanam. Tiap kata dan tindakan kita adalah tanaman masa depan.
Ada yang menanam sebagai bentuk perlawanan. Ada yang menanam karena kesenangan. Semuanya sah. Karena salah satu misi kehidupan di dunia adalah MENANAM.
Selain itu, menanam juga akan mengajari kita tentang cinta kasih dan kelembutan jiwa. Menanam mengajak kita merasakan kehidupan.
Bagaimana hati kita menjadi berharap dan bersemangat ketika melihat daun pertama bersemi.
Bagaimana kita belajar tanggung jawab dan selalu ingin pulang karena ada tanaman yg hidupnya tergantung pada siraman cinta kita.
Juga bagaimana kita belajar mendengar yg tak terucap, memahami kebutuhan tanaman yg tak bisa bicara. Kita berkomunikasi dg rasa, bahasa jiwa.
Leluhur kita adalah petani sejati yg sangat paham filosofi menanam. Mereka terus menanam meski tak pasti kapan akan panen.
Ratusan tahun pendahulu kita rela menanam darah dan tubuhnya untuk kemerdekaan Indonesia. Meski bukan mereka yg menikmatinya.
Bisa jadi kemudahan-kemudahan hidup yang kita alami sekarang adalah buah dari tanaman kebaikan orang tua, simbah, dan pendahulu kita.
Lalu tanaman apa yg akan kita wariskan pada anak turun kita?!

Angka Semesta

Angka semesta selalu dalam keseimbangan tetap, sampai suatu ketika berubah.

Infinity
Angka semesta selalu dalam keseimbangan tetap, sampai suatu ketika berubah. Ketidaktahuan kita akan kepastian masa depan, ketidakmampuan kita untuk memengaruhi hasil akhirnya adalah penyeimbang yang hebat. Itu membuat dunia menjadi terlihat lebih adil. Bahwa semua sama-sama tak berdaya di hadapan ketidakpastian.
Komputer menghasilkan angka acak dengan tujuan agar kita mengumpulkan sedikit demi sedikit arti dari ketakterhinggaan jumlah kemungkinan. Deretan angka tak berakhir, pola angka yang tak selesai, selama kejadian bencana alam tiba-tiba berhenti acak. Saat kumpulan kesadaran kita bersinkronisasi, begitu juga angka-angka semesta.
Belum ada ilmu yang bisa menjelaskan cara teknologinya tapi agama bisa. Tak usah bertanya agama yang mana. Satu-satunya agama di sisiNya adalah kesadaran bulat untuk pasrah total. Dalam agama, teknologi itu disebut doa. Suatu permintaan kolektif dikirimkan secara serempak, bangkitnya harapan, hilangnya ketakutan, berbagi perasaan dan makna hidup dengan sesama makhluk, menyebabkan angka semesta menuju koordinat harmoni.
Haruskah gunung-gunung bergolak lagi, gunung es melelehkan diri, bumi menggeser diri, kelompok manusia saling hujat, saling usir, saling serang lagi agar kita mengakui kesalahurusan, kelancangan, sekaligus ketidakberdayaan kita mengatasi kerusakan bumi akibat ulah tangan kita sendiri?! Hingga akhirnya kita terpaksa menyelaraskan energi yang sama, berdoa dengan permintaan yang sama.
Aman aman British Raya aman.
Aman aman Turki aman.
Aman aman IndonesiaRayya amaan.
-menungguvega.memandangmega. 29062016