Menikah itu…Sesuatu!


Aku duduk di samping jendela kereta. Kacanya mengilap. Busa kursinya masih empuk tapi keras. Pertanda belum banyak pantat yang menggagahi. Bahkan plastik pembungkusnya pun masih belum dilepas. Aku termasuk orang yang nganyari kereta ekonomi AC Gajah Wong jurusan Lempuyangan-Senen. Meskipun ber-AC tapi tak terlalu terasa dinginnya. fasilitasnya tak jauh beda dengan ekonomi biasa. Hanya memang gerbong dan interiornya terlihat baru. Tapi mental penumpangnya masih sama. sama-sama suka tidur di bawah kolong kursi beralaskan koran kemarin.

Aku menerawang melihat riuh pengunjung stasiun lempuyangan. Tak ku pedulikan penumpang yang saling berpamitan dengan pengantarnya. Aku di sini, sendiri. Aku merasa tak ada yang pas untuk aku pamiti di kota ini. ponselku meringkuk diam di saku kecil tas pinggang. Tak ada niat untuk mengusik ketenangannya. Sampai akhirnya ia bergetar. Rasanya seperti ada yang menggelitik pinggang.

Sebuah pesan masuk dari kawan lama, perempuan sebaya: “Mas… mengapa menikah dsebut ‘menggenapkan setengah agama’?”

Menikah? Ah kenapa akhir-akhir ini kata menikah lebih sering datang padaku. Kadang ia muncul sebagai undangan dari kawan. Kadang ia datang sebagai wejangan dari orang-orang yang telah lebih dulu berpengalaman. Tapi lebih sering kata itu datang berupa pertanyaan. Salah satunya adalah yang ku tuliskan itu.

Aku bisa saja menjawab, karena nabi mengatakan seperti itu maka jadilah. Tapi aku tahu siapa yang bertanya. Kalau hanya berdasar hadist nabi, temanku itu pasti lebih tahu. Aku mengira ia bertanya padaku karena ingin tahu jawaban nyleneh dariku. Ya sudah ku turuti saja.

Seolah tanpa perlu berpikir, ku tekan tombol sebelah kiri atas dari papan kunci ponsel. Ku pilih menu jawab dan jempolku menari sendiri di atas papan kunci. “Salah satu misi utama makhluk diciptakan adl untuk melestarikan spesiesnya demi keberlangsungan semesta. Dengan menikah, manusia setidaknya memenuhi separuh misi penciptaannya.” Tak lupa ku bubuhi kata “hehe” di akhir agar ia tak terlalu menganggap serius jawabanku.

Seperti biasa, ia tak pernah puas dengan satu jawaban saja. Ia mengejar jawab dengan tanya lain. aku tak ingat pasti apa pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Tapi di sini aku akan coba menulis apa yang ku ingat tentang menikah dalam kaitannya dengan agama dalam pengertian saya.

Hampir semua agama/kepercayaan membahas tentang relasi manusia laki-laki dan perempuan yang lazim disebut pernikahan. Dalam bahasa normatif dan sopan, tujuan dari pernikahan adalah membina keluarga yang sakinah mawadah wa rohmah. Sedang dalam bahasa gaulnya, tujuan diaturnya pernikahan oleh agama adalah agar burung situ tidak sembarangan hinggap di sarang orang.

Agama diturunkan agar menjadi rahmatan (kebaikan) bagi alam semesta. Dengan kata lain agama selalu sejalan dengan tujuan penciptaan semesta. Secara alamiah, setiap organisme memiliki mekanisme prokreasi (produksi-reproduksi) dan menggandakan dirinya agar jenisnya selalu lestari. Ini hukum eksistensi. Jadi menikah (resmi atau sembunyi-sembunyi, kawin KUA atau kawin lari) adalah peristiwa siklis organisme bernama manusia untuk tetap lestari di bumi. Misi semesta adalah juga misi agama.

Dari perspektif sosiologis, menikah sesuai aturan agama berguna untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban sosial. Bayangkan jika setiap orang bisa kawin mawin dengan siapa saja sebagaimana ayam kawin. Garis keluarga bisa sedemikian ruwetnya. Betapa banyak anak lahir tanpa ada bapak yang mau mengakuinya apalagi menanggung kehidupannya.

Dari sisi kejiwaan, sudah kodratnya manusia tak tahan hidup sendiri, terutama laki-laki. Kehadiran orang lain untuk dicintai ikut sangat signifikan dalam memberi kekuatan untuk tetap bertahan hidup. Dengan adanya suami/istri, hati kita akan merasa stabil/diam (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan semangat untuk berbagi kasih sayang (rahmah).

Khusus untuk laki-laki, ada 3 alasan bagi laki-laki untuk mau dan mampu bertahan hidup. Pertama, adanya seseorang yang dicintai dan mencintainya. Jika belum ada yang mencintainya, syarat yang kedua adalah adanya harapan bahwa akan ada seseorang yang mencintainya. Jika dua hal tersebut tidak juga ditemukan, yang dia butuhkan adalah kesempatan melakukan sesuatu untuk orang yang dicintai. Selain itu, daya tahan hidup lelaki rata-rata lebih rendah dari daya survival perempuan. Buktinya, banyak suami yang meninggal tak lama setelah menduda (jika tak segera mencari gantinya). Sebaliknya, banyak janda yang mampu membesarkan anak-anaknya dari kecil hingga menjadi dewasa. Perempuan lebih tough as single parent dari pada laki-laki.

Jika menikah itu misi semesta, kenapa banyak pasangan tak bahagia justru karena menikah?

Well, meskipun sulit saya harus katakan, menikah dan bercinta itu 2 hal yang berbeda. Menikah itu budaya, sedang bercinta itu alamiah. Bercinta itu sederhana, manusia lah yang membuatnya rumit.

Tahukah kalian bahwa seks itu juga cara menuju Tuhan. Jangan heran jika ajaran-ajaran dari agama/kepercayaan kuno hampir semua memiliki simbol-simbol seksualitas. Dalam candi peninggalan hindu budha yang tersebar di nusantara ditemukan lingga (simbol perempuan) dan yoni (batu tegak simbol laki-laki) sebagai bagian dari candi-candi pemujaan. Lingga yoni adalah lambang kesuburan, lambang dimulainya kehidupan baru. Bahkan MONAS yang kita banggakan itu kalau kita cermati bentuknya ya mirip lingga yoni. Dalam novel-novel Dan Brown yang mengungkap tradisi paganisme, digambarkan bagaimana seks menjadi ritual suci kelompok tersebut. ada sepasang laki-laki dan perempuan bercinta di tengah dikelilingi para anggotanya. Ini bukan pesta seks sebagaimana yang sering kalian tonton di film-film bokep. Ini juga bukan hanya soal seni bercinta. Tapi ini adalah simbol penciptaan kehidupan baru bagi kelangsungan semesta.

Bahkan di pesantren pun ada kitab-kitab yang secara khusus membahas bagaimana melakukan seks, lengkap dengan keterangan doa yang harus dibaca dan alat bantunya. Sensasi ekstase yang dirasakan para sufi ketika fana’ dalam dzikir itu tak jauh beda dengan sensasi ketika orgasme. Sama-sama merasa hilang, ringan, menyatu dengan semesta. Anehnya, semakin kita berusaha konek dengan Yang Di Atas, semakin kuat juga dorongan konak di bawah. Jadi konek dan konak itu saling berkaitan. Kalau ga percaya, silakan buktikan.

Terakhir, yang perlu diingat sebelum memutuskan untuk akad nikah, membangun keluarga itu bukan hanya untuk kehidupan di dunia. Karena saya percaya hidup tidak hanya di dunia saja. Ingat, kehidupan dunia ini hanya persinggahan saja. Setelah ini ada kehidupan yang sejati dan abadi. Jadi bangunlah keluarga akhiratmu sejak di dunia. Kelak di dunia jiwa, balasan bagi penghuni surga adalah bertemu dan berkumpul dengan jiwa yang dicintainya semasa hidup di dunia. Pertemuan dan tinggal bersama ini hanya mungkin jika kualitas jiwanya setara. Seperti yang diterangkan dalam buku Journey of Souls, jiwa-jiwa memiliki tingkatan dan akan berkumpul sesuai dengan tingkatannya. Nabi pun pernah mengisyaratkan bahwa kelak di akhirat, manusia dikumpulkan berdasarkan golongannya. Di sinilah pentingnya membina keluarga yang berkualitas. Di sinilah makna dari doa semoga dikaruniai anak-anak yang sholeh-sholehah. Karena hanya anak yang sholeh/sholehah (yang tinggi kualitas jiwanya) yang mampu mengangkat derajat orang tuanya di hadapan Pemilik Jiwa. Karena penghuni surga berhak meminta untuk tinggal bersama pasangan jiwa yang dicintainya (dan ini belum tentu suami/istrinya di dunia).

Salah satu kebahagiaan di surga adalah bisa menikmati hidup dalam keabadian bersama orang-orang yang dicinta, bersama keluarga. Lebih bahagia lagi jika kita bisa memulainya sejak di dunia.
Sahabat-sahabatku… Menikahlah, semoga engkau lebih bahagia!

Penulis: maulinniam

Burung kecil terbang dalam kawanan, burung besar terbang sendirian. Aku hanya burung kecil yang belajar terbang sendirian.

Satu komentar pada “Menikah itu…Sesuatu!”

Tinggalkan komentar